Kamis, 18 Juli 2013

Perang Dunia II - Pertempuran Di Wilayah Udara Tonsea

Pasukan pertahanan Kompi “A” sektor Airmadidi di bawah pimpinan komandannya letnan I O.A. Rademaker, berada dalam keadaan siaga penuh. Letnan O.A. Rademaker terlihat dengan gagah berani ikut menyandang senapan karaben, dan berhasil membakar semangat tempur para serdadu yang dikomandoinya. Kopral Mandagi, salah seorang anggota pasukannya, berkomentar, “Ini baru perang! Letnan juga pegang senapan. Dus, torang juga harus iko baku pasang.”
 Namun, di kejauhan di atas langit Kema terlihat tiga buah pesawat udara berwarna kehitam-hitaman sedang beraksi menari-nari di udara. Salah satu di antaranya tampak menukik dengan tajam bagaikan seekor burung elang yang hendak menyambar mangsanya di permukaan laut, tetapi kemudian tidak muncul kembali di udara. Belakangan baru terdengar kabar bahwa salah satu kapal pengangkut Jepang yang besar telah diserang oleh pesawat udara Sekutu dan tenggelam di perairan laut Girian, Tonsea. Pesawat udara yang ke dua dari ketiga pesawat udara Sekutu tadi, terlihat menjulang lebih tinggi ke angkasa, lalu akhirnya merubah haluannya ke arah timur dan menghilang dari pandangan mata. Diduga pesawat udara itu akhirnya kembali ke pangkalannya dengan selamat.
 Sedangkan pesawat udara yang ke tiga juga menukik ke bawah dalam lingkaran Armada Tempur kapal-kapal perang Jepang. Tetapi, sekonyong-konyong pesawat itu menanjak kembali dengan tajam ke udara, langsung memutar haluan dan menuju arah selatan pegunungan Lembean sambil mengeluarkan asap hitam. Beberapa saat kemudian terlihat dua pesawat pemburu Jepang “Zero” menderu-deru sambil melaju dengan kencang menuju arah pesawat udara Sekutu tadi. Pesawat udara Sekutu itu tetap terbang lurus tanpa merobah haluan, namun kian lama kian menyemburkan asap hitam tebal serta nyala api kuning kemerah-merahan di salah satu sayapnya.
 Sementara itu di suatu lokasi pengungsian, sepasang suami-istri, yaitu Johannes Lambertus Kumontoy yang menjabat wakil hukum tua dan istri tercintanya Fien Geertruida Lengkong, bersama kedua orang putra remaja mereka, masing-masing dengan nama panggilan Ade’ dan Alo’, sedang menata meja untuk persiapan makan pagi mereka di daerah perkebunan Tuloun. Lokasi perkebunan ini hanya berada sekitar lima ratus meter dari kampung Ranowangko II, di daerah pegunungan Lembean. Salah satu putra mereka yang bernama Albert dengan panggilan sehari-hari Alo’ itu, bertanya kepada sang ibunda, “Mak, apa sebabnya di hari Minggu [11 Januari 1942] yang indah ini, begitu ramainya pesawat-pesawat terbang di udara? Ini lain dari hari-hari biasa.” Sang ibu yang mereka cintai itu mencoba menjelaskan, “Sesuai pengumuman plakat dari Hukum tua, kita sekarang sedang dalam keadaan perang dengan Jepang.” Alo’ belum begitu paham dengan apa yang dimasudkan sang ibu. Maklumlah ia masih seorang remaja, belum akil baliq.
 Memang di pagi hari yang indah itu, di angkasa raya bumi Toar-Lumimuut berkeliaran puluhan pesawat-pesawat udara Jepang dari berbagai jenis, seakan-akan sedang berpesta pora menyambut kemenangan-kemenangan yang mereka raih di front Manado dan pantai Kema, serta keunggulan di udara yang mereka miliki. Selain itu, pesawat-pesawat udara tempur Jepang itu turut pula memberikan dukungan terhadap kampanye aksi pendaratan (dengan penerjunan) bagi pasukan payung mereka di kawasan pangkalan udara Kalawiran, yang saat itu sedang dalam pertarungan sengit dengan pihak pasukan pertahanan KNIL. Di zona laut bagian utara, barat dan timur sama sekali tidak terjadi pertarungan laut antara pihak yang bertahan dan pihak penyerbu. Angkatan Laut Jepang secara telak telah menguasai lautan.
 Tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan mereka! Para anggota keluarga Kumontoy itu dengan serentak meninggalkan meja makan dan keluar dari pondok tempat kediaman mereka dalam pengungsian itu. Nasi dan ikan yang sedang dikunyah dalam mulut terhenti seketika, karena mereka mendadak dikagetkan oleh gemuruh keras bunyi mesin pesawat udara, yang mereka sangka akan menabrak pondok mereka itu. Dalam sekejap itu juga melintaslah dengan sangat rendah di atas pondok mereka itu, sebuah pesawat udara yang sedang terbakar dan diselimuti asap hitam tebal, lalu sesaat kemudian disusul bunyi ledakan yang dahsyat, yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Ternyata pesawat udara itu mungkin berusaha melakukan pendaratan darurat, namun meledak berkeping-keping di sebuah lahan dekat kali Tuloun.
 Suasana perang untuk seketika dilupakan. Penduduk yang berada di bukit-bukit tempat pengungsian secara berbondong-bondong turun menuju lokasi terjadinya malapetaka itu. Mereka tidak mempedulikan apakah itu pesawat udara kawan atau lawan. Hukum tua yang cukup bijaksana didampingi oleh Johannes L. Kumontoy beserta kedua putranya, beberapa orang pensiunan tentara, para pemuka kampung, dan kepala jaga kampung, bertemu di lokasi kejadian.
 Hukum tua Z.Z. Singal, yang kebetulan pula pensiunan kopral KNIL, segera mengenali identitas pesawat udara naas itu sebagai milik skuadron pembom Angkatan Udara Australia, karena membujur pada badan pesawat udara itu jelas terpampang empat huruf besar “RAAF”, singkatan dari “Royal Australian Air Force”. Jenis pesawat ini dikenal sebagai pembom tipe B-17 “Flying Fortress”. Keempat awak pesawatnya yang terdiri dari tiga orang pria dan seorang wanita, yang bertugas sebagai pilot, co-pilot, navigator, dan air gunner (juru tembak udara), tewas di dalam reruntuhan bangkai pesawat udara itu.
 Hukum tua Singal memerintahkan kepada warganya, agar keempat jenazah awak pesawat udara Angkatan Udara Australia itu dievakuasi dari bangkai pesawat udara B-17 itu. Jenazah-jenazah yang sudah tidak utuh lagi itu kemudian ditata kembali dan dirapihkan secara terhormat. Semua tanda pengenal keanggotaan militer mereka yang terbuat dari bahan logam seperti yang terdapat di pergelangan tangan dan yang dikalungkan di leher, dikumpulkan dan diminyaki dengan minyak gemuk dan dibungkus, lalu dimasukkan ke dalam peti jenazah. Sebelum jenazah mereka diusung ke tempat pemakaman, terlebih dahulu disemayamkan di gereja GMIM setempat, di mana dilangsungkan suatu acara kebaktian.
 Gema bunyi momongan (gong besar) yang didentangkan berulang kali, memberikan isyarat, bahwa keempat jenazah itu segera akan diusung menuju tempat pemakaman dengan diiringi oleh warga masyarakat kampung itu. Jenazah-jenazah itu dimakamkan di pekuburan penduduk kampung Ranowangko II dengan upacara agama Kristen Protestan dan secara militer walaupun tanpa tembakan salvo, dengan dipimpin oleh kelompok pensiunan tentara dan para pemuka masyarakat setempat.
 Seluruh bagian dari bangkai pesawat udara itu kemudian dikumpulkan oleh penduduk, lalu diletakkan di sebidang kecil lahan dari pekarangan rumah hukum tua Z.Z. Singal, bagaikan sebuah “monumen memorial” yang menjadi bukti kepahlawanan para personil Tentara Sekutu, walaupun perang belum juga berakhir di kampung Ranowangko II itu!
 Setelah pesawat udara RAAF yang terakhir itu menghilang ke jurusan timur, muncullah tiga pesawat udara Jepang yang meraung-raung di atas angkasa pantai Kema. Pesawat-pesawat udara itu secara berturut-turut mulai menjatuhkan parasut (payung udara) yang terbuka dengan manis sekali. Anehnya, parasut-parasut itu tidak langsung mendarat, melainkan melayang-layang cukup lama di udara, baru lah kemudian menghilang. Letnan Rademaker yang menyaksikan langsung kejadian itu dari kejauhan, berkomentar, “Dat zijn toch poppetjes!” (Itu ‘kan boneka-boneka!), karena ia mengetahui hal itu sebagai suatu siasat saja dari pihak Jepang. Bila boneka-boneka itu kita tembak, Jepang segera akan tahu posisi pertahanan kita dan akan menggempur kita, tambah Rademakerlebih lanjut.
 Dalam pada itu, di atas kapal-kapal perang Armada Tempur Angkatan Laut Jepang yang sedang bercokol di perairan Teluk Kema, “aroma” kemenangan sedang menyusupi ke dalam benak para perwira Tentara Jepang, meskipun kepastian kemenangan masih diragukan. Para opsir dari pimpinan Komando Tempur telah berkeyakinan penuh, bahwa para komandan pertempuran beserta para serdadu pasukan marinir “Sasebo” maupun pasukan payung “Yokosuka”, pasti telah memenangkan pertempuran di semua front.
 Keyakinan tersebut didasarkan atas telah dibekalinya setiap opsir maupun serdadu dari “Imperial Dai Nippon Dai Koku Sentai” (pasukan penyerang khusus dari Kekaisaran Jepang yang jaya) masing-masing dengan satu pak rokok sigaret yang bertuliskan huruf-huruf amanat “Tennoheika Gogoheika” (kaisar dan permaisuri). Amanat tersebut menjiwai semangat “jibaku tai, kamikaze, dan harakiri” bagi setiap serdadu “Koku Sentai” dan “Samurai”, di mana dengan tekad untuk “menang atau kalah dalam perang”, pasukan khusus itu rela berkorban jiwa demi kehormatan dan kejayaan kaisar dan permaisuri kekaisaran Jepang.
 Komandan Eskader ke-5 Armada Tempur A.L. Jepang, Laksamana Muda Takeo Takagi belum sempat merayakan kemenangannya, ketika di udara telah muncul lima belas pesawat pembom jenis “Hudson” milik Angkatan Udara Australia (RAAF) didampingi oleh tiga buah pesawat udara jenis “Dornier” dariMilitaire Luchtvaart (penerbangan militer) atau ML-KNIL Hindia-Belanda. Dalam tempo singkat, di angkasa telah terjadi “perkelahian” antara pesawat udara yang saling bermusuhan. Dari kejar-mengejar sambil masing-masing menampilkan taktik dan lawan-taktiknya, akhirnya berkembang menjadi pertarungan duel di udara. Beberapa pesawat udara Jepang sempat dirontokkan. Sebuah pesawat udara bermesin ganda Jepang dari jenis pembom tukik, tidak sempat kembali mencapai pangkalannya di kapal induk Armada Tempur Jepang yang berada di sekitar perairan itu. Pesawat udara itu jatuh terbakar di lokasi perkebunan rakyat Mataingkere, yang terletak sekitar tiga kilometer dari kampung Tumaluntung, distrik Tonsea.
 Salah seorang awak pesawatnya tewas bersama bangkai pesawat udara itu, sedangkan rekannya yang lain, entah ia pilot atau ko-pilot pesawat udara itu, sempat menyelamatkan diri terjun dengan parasut. Pilot itu selamat dan menyerahkan diri kepada Hukum tua dan rakyat kampung itu. Pilot yang tidak berdaya itu memohon, agar ia dapat dikembalikan kepada Komando Tempur Tentara Jepang yang kini telah bermarkas di semenanjung pantai Kema. Permintaan sang korban dikabulkan, dan ia pun selamat.
 Kedelapan belas buah pesawat udara Sekutu yang diterbangkan dari pangkalan udara Laha (kini: Lanud Patimura) di Ambon itu, ternyata tidak berhasil menyelesaikan seluruh misinya. Pesawat pembom “Betty” dan pesawat pemburu “Zero” milik satuan udara Angkatan Laut Jepang yang segera mengudara dari kapal induk, berhasil merontokkan empat pesawat udara jenis “Hudson” dan satu pesawat udara jenis “Dornier”. Sedangkan ketiga pesawat pembom B-17 “Flying Fortress” yang diobrak-abrik di angkasa terlebih dahulu itu, juga termasuk dalam formasi tempur skuadron pembom B-17 RAAF. Beberapa pesawat udara pihak Sekutu yang berhasil kembali dengan selamat ke pangkalannya, mendarat kembali di pangkalan udara Laha, Ambon, dengan badan yang tercabik-cabik, bahkan beberapa awak pesawatnya dalam keadaan gugur di dalam pesawat udara itu.
 Komentator “Tokyo Rose” dari Radio Tokyo dalam ulasannya mengakui, bahwa pertempuran untuk merebut Kema itu “berlangsung dengan singkat, tetapi sengit.” Sedangkan Radio NIROM Batavia Centrum, dalam komentarnya pada siaran tertanggal 13 Januari 1942 yang menyangkut pertempuran di Manado-Minahasa, menyatakan pendapatnya yang bernada pujian: “De zonen van Toar-Lumimuut vechten als leeuw”, yang artinya “Para putra-putri Toar-Lumimuut (Minahasa) itu bertarung bagaikan singa [lapar]”. 
 Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar