Jumat, 19 Juli 2013

Perang Tondano (jilid 1)

Kisah Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda, puncaknya pada tanggal 5 Agustus 1809, selain dipenuhi asap mesiu, bau anyir darah dan daging bakar, juga  seluruh kawasan danau dan sungai bagaikan permadani diselimuti darah (Moraya).
Sesungguhnya kisah heroik tersebut bukanlah kisah baru yang sekarang ini ditulis atau dibicarakan oleh kalangan tertentu. Akan tetapi, berdasarkan referensi kepustakaan, catatan-catatan, dan surat-surat atau dokumen sejarah bangsa Eropa, terutama Belanda, banyak kita jumpai bukti-bukti sejarahnya. Meskipun demikian, kisah perlawanan orang Minahasa terhadap kompani Belanda, bagaimana pun juga  merupakan kenyataan sejarah yang tidak boleh dilupakan atau dipinggirkan sebagai bagian dari sejarah bangsa/nasional kita.

Ada tujuh penulis lokal (Minahasa) yang mengekspresikan rasa  kepeduliannya ketika mereka mengungkapkan makna sejarah Perang Tondano, yakni: 1) H.M. Taulu (1961), 2) Giroth Wuntu (1963), 3) Frans Watuseke (1968), 4) Eddy Mambu, SH (1986), 5) Drs. Jootje Sendoh (Materi Lokakarya/1985), 6) Sam A.H Umboh (Skripsi/1985), dan 7) Bert Supit (1991). Sebagai tulisan yang bernilai sejarah perjuangan, patutlah diberikan apresiasi terhadap ke tujuh penulis tersebut.

Menyimak hasil penulisan ke tujuh penulis tersebut, dalam mengungkapkan makna latar belakang terjadinya perang, secara umum  memiliki pandangan yang sama. Bagi mereka, Perang Tondano masih tetap merupakan suatu riwayat peperangan yang gagah berani, paling lama (1961-1809), dan utama, melebih dari kisah-kisah heroik lainnya yang pernah dialami oleh orang Minahasa, seperti perang dengan perompak-perompak Mindanao, Kerajaan Bolaang Mongondow, atau perang antara Minahasa-Spanyol (pasukan Spanyol berhasil dipukul mundur – lari ke Mindanao Filipina alias kalah).

Mengapa Disebut Perang Tondano?

Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat masih adanya persepsi di kalangan tertentu orang Minahasa yang beranggapan bahwa seakan-akan pelaku-pelaku yang terlibat dalam peristiwa besar Perang Tondano hanya Orang Tondano yang bermukim di Minawanua.  Padahal, pemakaian istilah Perang Tondano bukan berarti yang terlibat dalam perang hanya Walak Tondano, akan tetapi hampir seluruh Walak di Minahasa telah berperanserta menunjukkan solidaritasnya sebagai Tou-Minahasa berjuang bersama Walak Tondano melawan Kompeni Belanda.

Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang penulis asal Tondano Giroth Wuntu (1963), bahwa pada hakekatnya Perang Tondano (PT) adalah perang patriotik yang besar dari rakyat Maesa (Minahasa pada umumnya) melawan penjajahan Belanda, yang telah berlangsung secara berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan yang pertama telah dimulai pada 1 Juni 1661, dan berakhir (perang perlawanan terbesar) pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.

Para pemimpin Perang Tondano, selain Tewu, Sarapung, Korengkeng, Lumingkewas Matulandi (semuanya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon, dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken. Bahkan sebagai organisator dan atau otak (“de ziel”) dari perlawanan melawan kompeni Belanda, selain Tewu juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon yang dicari-cari oleh pihak kompeni Belanda untuk ditangkap.

Seperti juga yang terungkap dalam dokumen Perang Tondano, akhirnya Tewu ditangkap menemani Ukung Pangalila (Tondano) dan Ukung Sumondak (Tompaso) yang sudah sejak awal menjadi penghuni penjara di Benteng Fort-Amsterdam. Mereka ditangkap oleh Belanda ketika selagi mengikuti musyawarah di Benteng Belanda tersebut. Mereka ditangkap karena keduanya dengan tegas menentang usaha dari Residen Schierstein  yang hendak mengubah substansi perjanjian atau Verbond 10 Januari 1679, seperti yang diakui oleh Jacob Claesz, kepada David van Peterson dinyatakan: “Bahwa orang-orang Minahasa bukan  merupakan orang taklukan atau bawahan, tetapi yang berada dalam suatu ikatan persahabatan dengan Kompeni Belanda”.

Dengan demikian, perlulah diungkapkan di sini bahwa disebut Perang Tondano yang secara historis telah berlangsung sejak tahun 1661, dan puncaknya terjadi pada tahun 1808-1809,  didasarkan atas:

1.      Puncak petualangan kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah Walak Tondano;
2.      Waktu perang pecah, kita belum mengenal istilah Minahasa sebagaimana kita mengartikannya sekarang ini. Memang pada dekade terakhir dari abad kedelapan belas, istilah Minahasa memang sudah dipakai. Tapi, masih dalam arti “Landraad”/”Vergadering van Volkshoofden” (Musyawarah para Ukung dan Kepala Walak. Karenanya menurut sejarawan Dr.E.C. Godee Molsbergen, Residen Predigger, arsitek Perang Tondano itu hanya memakai istilah “Manadosche onlusten”; sedangkan sejarawan Dr.H.J. de Graaf menyebutnya “Volksopstand in Manado”.
3.      Berdasarkan cerita rakyat, peristima itu diistilahkan sebagai Perang Tondano, merupakan istilah yang telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada umumnya (lihat Supit 1991).

Latar Belakang Perang Tondano dan Implikasinya

Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan kompani Belanda,  antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di Minahasa khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap sama dengan kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol) yang telah membunuh beberapa Tona’as, antara lain Mononimbar dan Rakian dari Tondano dan Tona’as Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa semua orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila kepala Walak Tondano, dan Ukung Sumondak kepala Walak Tompaso.

Hampir semua penulis menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Tondano keempat (terakhir), adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk kepentingan militer Hindia-Belanda (lihat Wenas 2007). Dikemukakan oleh Supit (1991), “para penulis barat dalam tulisan sepintas senantiasa menyatakan bahwa penyebab terjadinya peristiwa itu, adalah karena masalah “rekrutering” atau “ketentuan menjadi serdadu” bagi para pemuda Minahasa untuk dikirim ke Jawa guna menghadapi perjuangan tentara Inggris. Sejarawan Dr. H.J de Graaf, menyatakan atas hal ini :

“Maka dipanggilah dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal dari suku-suku pemberani dalam peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan suku Dayak.  Bila yang datang melapor secara suka rela tidak segenap hati/memadai, pemaksaan dilakukan. Suatu tindakan yang telah mengakibatkan pecahnya pemberontakan rakyat di Manado/Minahasa”.

Kecuali itu, Dr. E.C. Godee Molsbergen, yang pada tahun 1928 ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menulis sejarah Minahasa dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun “Persahabatan Minahasa-Belanda/Verbond 10 Januari 1679 kedua ratus lima puluh, menulis :

“Walaupun Predigger dengan pembawaannya yang lemah lembut menghindari bentrokan dengan penduduk, ia tidak dapat mencegah tindakan petugas pendaftaran yang tidak bijaksana dan terciptanya cerita yang tidak-tidak mengenai tujuan perekrutan. Ditambah dengan hutang lama, disebabkan penerimaan sandang dengan uang muka, hubungan baik dengan Pemerintah Hindia-Belanda, menjadi rusak sama sekali”.

Apabila disimak secara kritis makna terjadinya Perang Tondano itu, bahwa sesungguhnya bukan karena alasan rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari sejarawan kolonial tersebut. Akan tetapi, akar masalahnya terletak pada “pelanggaran-pelanggaran kolonial Belanda terhadap ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda Verbond 10 Januari 1679”.  Hal ini menunjukkan bahwa secara antropologis, orang Minahasa sudah sejak tempo doeloe tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya (orientasi terhadap kebenaran dan keadilan) yang tidak mengenal kompromi dengan pelanggaran adat, siapa pun pihak yang melakukan pelanggaran adat yang dimaksud (sei’reen).

Bagi orang Minahasa Verbond tersebut sudah menjadi bagian dari adat Minahasa yang menjamin kelanjutan hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh  para pemimpin  Minahasa, merupakan pengingkaran kompani Belanda terhadap Verbond  yang sudah mereka sepakati bersama. Pengingkaran ini adalah suatu penghinaan yang fantastis terhadap kebenaran dan keadilan. Apalagi mereduksi nilai-nilai kepemimpinan sosial orang Minahasa, di mana posisi kepala walak dikondisikan sedemikian rupa dalam perubahan perjanjian (Verdrag 10 September 1699/amandemen pasal 9), sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap semua kebijakan kompani Belanda. Padahal dalam konteks status – peranan, menjadi kepala walak, bukanlah jabatan yang diberikan atas dasar turunan (ascribed); tetapi menjadi kepala walak diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat atas dasar kinerja (achieved).

Posisi Minahasa sebelum perang di tahun 1808-1809

(Dirangkum dari berbagai Sumber oleh : Erwin Saderac Pioh 2010)
Seperti yang sudah sudah dituliskan beberapa peneliti dan penulis bahwa Minahasa sebelumnya memiliki dasar kontrak kerja sama dengan V.O.C dalam apa yang disebut kontrak persekutuan atau persahabatan atau dikenal dengan VERBOND 10 Januari 1679, dengan 10 pasal perjanjian dimana pada mukadimah perjanjian bertuliskan :

“VOORWAARDEN EN VERBONDT aengegaan door den Gouverneur der Moluccos Robertus Padtbrugge in name van d’ED.  Heer Gouverneur Generaal Rijckloff Van Goens en Raede van Indie,  representeerende de Nederlandsche g’octrooijeerde Oost Indische Comp…… en Staat der Verenigde Nederlanden ter eenre en de dorpshoofden en gantsche gemeijnte van Celebes,  ter andere zijde.” Yang artinya:  Perjanjian dan Persekutuan yang diadakan oleh yang terhormat Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge atas nama tuan besar Gubernur Jenderal Rijckloff Van Goens dan Dewan Hindia yang mewakili Kompeni Hindia Timur di Oktroij dan Negara Persekutuan Belanda pada satu pihak dan Kepala-kepala Walak seluruh Haminte dalam wilayah Manado atau ujung paling utara pulau Sulawesi, pada pihak yang lain.
Tetapi dari kewajiban pihak Minahasa atas Belanda sangatlah dapat di lihat lebih banyak yang harus dipenuhi termasuk mengakui V.O.C sebagai yang dipertuan, sebaliknya dari pihak Belanda hanyalah perlindungan dari serangan luar ke dalam Minahasa oleh suku-suku lainnya, dimana akhirnya implementasi dari kebijakan kebijakan ini tidaklah berjalan mulus sehingga menimbulkan ketimpangan kerja sama Minahasa –Belanda dalam hal ini V.O.C baik secara regional, ekonomi dan persekutuan.  Dan akhirnya dalam mengatasi hal tersebut 20 tahun kemudian tepatnya pada 10 September 1699 pada artikel ke 6 dan 9 dari VERDRAGG 10 Setember 1699, yang bertuliskan :

“Artikel 6.’ … waaromme hun ook verbinden sig steeds te sullen bethoonen vrinden van’s Comps vrinden en vijanden van deselver vijanden te wesen en oversal nevens andere bondgenooten d’E. Comp.  ‘t zij te water of te land getrouwelijk te sullen bijstaan en tot den dood toe the helpen redden en beschermen soo de nood sulx motge komen vereschen.”  Yang artinya: …Mengapa mereka bersekutu, serta menyatakan bahwa sahabat Kompeni adalah sahabat rakyat dan demikian dengan sekutu kompeni lain-lain, di laut dan di darat, bantu –membantu dan lindung-melindungi bila dituntut sampai mati sekalipun.”

“Artikel 9.’ … Soo verbind haar d’E. Comp. omme gesamentlijke gemeente van beneden, boven en agterlanddorpen als hare ware bondgenoten steeds te sullen erkennen en voor alle geweld en overlast mogen wesen, mogten worden aangedaan te sullen beschermen en na tijds gelegentheden tegen de zoodanige hare vijanden te sullen adsiteren.”  Yang artinya: Demikian Kompeni bersekutu dengan seluruh haminte di pantai-pantai, digunung-gunung dan di desa-desa, di pelosok pedalaman sebagai sekutunya yang selalu di akui dan melindunginya dari penganiayaan dan tekanan dari siapapun juga.”

Jadi jelaslah bahwa Minahasa-Belanda telah mengeluarkan sebuah perjanjian persekutuan yang dapat dikatakan telah menimbang asaz-asaz kesetaraan dalam persahabatan dan hal kontrak-kontrak berikutnya tetap diadakan dan ditanda tangani oleh walak-walak Minahasa sebagai representative atau perwakilan sebuah wilayah teritori yang berdaulat yang diakui oleh Belanda juga sampai pada kontrak Minahasa-Kerajaan Inggris pada 14 September 1810. 

Antara tahun 1699 sampai pada pecah perang di Minahasa lebih khusus perlawanan Waraney-Waraney  atau Ksatria-ksatria Minahasa di Tondano pada 1808, ada jarak sekitar 109 tahun, atau dapat diperkirakan 100 tahun setelah perjanjian atau kontrak VERDRAGG 10 September 1699 baru muncul friksi friksi yang tajam dimana simpul utamanya letak pada masalah ekonomi.   Tetapi sebelumnya dapat dilihat juga dari posisi Kerajaan Belanda itu sendiri.

3 komentar: