Dr. Sam Ratulangi - Pahlawan Nasional Indonesia
Nama : Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob RatuLangie
TTL : Tondano, 5 November 1890
TTM : Jakarta, 30 Juni 1949
Sam Ratulangi atau yang biasa dijuluki “The Old Man” ini adalah cendikiawan besar Minahasa yang paling utama pada abad 20. Ia bukan sarjana ilmu pasti alam, tapi sebagai politikus yang mampu membaca situasi saat itu. Ia mendirikan dan menjadi redaktur majalah “Nationale Comentaren” 1938-1942 yang terkenal dan dengan tulisannya mempengaruhi golongan intelektual agar cinta tanah air. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang meraih doktor dalam ilmu pasti dan alam.
Saat ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia-Belanda) mewakili Minahasa, ia sering mengucapkan pidato yang mengecam politik pemerintah Hindia Belanda. Karena sikap non-koperatifnya, ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada bulan Januari 1941.
Pada masa pendudukan, Jepang mendirikan sebuah badan bernama Pusat Tenaga Rakyat yang disingkat PUTERA. Badan ini sendiri dipimpin oleh kedua kawannya yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Sebenarnya badan ini akan dipimpin oleh DR. Sam Ratulangi namun ditolaknya dengan alasan ia bukan merupakan solusi untuk menjadi pimpinan dari badan yang akan menaungi suatu bangsa yang mayoritas beragama Islam serta kapasitasnya sebagai putera bangsa Minahasa yang notabene adalah bangsa yang dialergi oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia lainnya. Perlu diketahui bahwa DR. Sam Ratulangi saat menjadi mahasiswa di Zurich Swiss, ia terpilih menjadi ketua Asosiasi Mahasiswa se-Asia, dimana sejumlah anggotanya kelak menjadi tokoh-tokoh nasional di negaranya masing-masing seperti Jawaharlal Nehru dari India, Presiden Queson dari Filipina, serta Perdana Menteri Jepang Tojo. Sam Ratulangi memang dibujuk Jepang atas perintah Perdana Menteri yang bekas teman kuliahnya itu, namun ia menolak dengan meneluarkan argumen tersebut. Ia akhirnya dipercaya membentuk badan semacam PUTERA di pulau Sulawesi bernama Sumber Darah Rakyat disingkat SUDARA.
Aktivitas politiknya semakin hebat ketika menjelang dan sesudah kemerdekaan RI. Ia sempat duduk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kemduian pada 18 Agustus 1945 ia diangkat menjadi Gubernur pertama Provinsi Sulawesi di Makassar. Bersama stafnya, Om Sam ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui dan Biak Papua pada 5 April 1946. Tapi, ternyata di tempat pembuangan ia melatih para kader Papua. Tahun 1947 ia mendirikan Partai Kemerdekaan Irian dan diketuai oleh Silas Papare. Selain itu ia mendirikan organisasi “Ibunda Irian”. Pada Agustus 1948 Om Sam dibebaskan dan kembali Yogya. Namun pada bulan Desember 1948 ia dan para petinggi RI ditangkap pada saat Agresi Militer Belanda ke-2. Om Sam yang sedang sakit-sakitan meninggal dunia pada tanggal 30 Juni 1949 di Jakarta dengan status sebagai seorang tahanan musuh yaitu Belanda.
Arie Frederik Lasut - Pahlawan Nasional Indonesia
TTL : Kapataran – Tondano, 6 Juli 1918
TTM : Desa Pakem – Yogyakarta, 7 Mei 1949
Pada tanggal 16 Maret 1946 dalam usianya ke-28 tahun, ia diserahi tugas sebagai Kepala Jawatan Tambang dan Geologi RI di Bandung. Di samping itu, ia juga menjadi salah seorang pimpinan laskar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Ia adalah Komandan Kompi BS (Berdiri Sendiri) dalam Brigade 16 di Kesatuan Reserve Umum X.
Pada waktu itu, pihak Belanda ingin menguasai dokumen dan data tentang masalah pertambangan dan geologi di Indonesia. Arie Lasut diancam untuk menyerahkan dokumen-dokumen tersebut. Karena tidak berhasil, pihak Belanda kemudian merubah taktik dengan membujuknya dan menjanjikan pangkat yang tinggi dan gaji yang besar. Inipun tidak berhasil. Untuk menghindari ancaman dan bujukan Belanda, ia berpindah-pindah dan akhirnya pindah ke Yogya. Sedangkan dokumen-dokumen tersebut diungsikan oleh stafnya. Berbagai dokumen yang diselamatkan itu ternyata sangat berguna untuk pembangunan negara baru ini.
Ketika Belanda menduduki Yogya menduduki Yogya di tahun 1949, Arie Lasut Ditangkap dari rumahnya dan langsung dibawa ke desa Pakem. Di desa ini yang letaknya sekitar 7 kilometer sebelah utara Yogya, satu regu tembak KNIL melaksanakan hukuman tembak mati pada Arie Lasut. Ia tewas ditembak pada pukul 10 pagi tanggal 7 Mei 1949. Beberapa penduduk desa Pakem kemudian mengubur jenasah Lasut di desa itu.
Mr. Alex Andries Maramis
TTL : Paniki Bawah Manado, 20 Juni 1897
TTM : Jakarta , 31 Juli 1977
* Tahun 1943 telah duduk dalam Majelis Pertimbangan "POETERA"
* Tahun 1945 menjadi Anggota BPUPKI, kemudian dalam Kabinet Presidensial Pertama ia
menjadi Menteri Negara Kabinet RI yang Pertama tanggal Agustus – September 1945, serta
Menteri Keuangan yang kedua sejak tanggal 25 September 1945.
* Tahun 1947 dalam Kabinet ke-5 RI yaitu Kabinet Amir Sjarifuddin Pertama
sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI
* Tahun 1947 sampai tahun 1948 dalam Kabinet ke-6 RI yaitu Kabinet Amir Kedua juga
sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI
* Tahun 1948 sampai tahun 1949 dalam Kabinet Hatta Pertama (atau Presidentil Kabinet)
sebagai Menteri Keuangan
* Tahun 1948 sampai tahun 1949 saat Agresi Militer Belanda ke-2 duduk dalam
Kabinet Darurat dalam Pemerintah Darurat RI (PDRI) sebagai Menteri Luar Negeri.
* Tahun 1949, Mr A.A. Maramis menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Filipina,
kemudian menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Jerman,
terakhir menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Moskow.
Mr Maramis sering disebut sebagai “Orang Minahasa yang sering masuk kabinet RI”.
Setelah kekalahan Jepang di Pasifik mulai nampak pada tahun 1944-1945, tentara Jepang mulai memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Maka dibentuklah suatu badan yang bertujuan untuk menyelidiki kesiapan kemerdekaan Indonesia bernama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Badan ini terdiri dari 68 orang dimana Mr. A.A. Maramis juga menjadi anggotanya. Setelah BPUPKI, kemudian dirubah menjadi PPKI saat telah diproklamasikannya kemerdekaan RI. Mr. Maramis adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta duduk dalam Panitia Sembilan PPKI. Ia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai parlemen. Selain itu, saat Agresi Militer Belanda yang ke-2 pada bulan Desember 1948, Maramis ditugaskan ke India oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara dan saat itu ia menjabat Menteri Luar Negeri RI saat Soekarno-Hatta ditawan Belanda dan berhasil menghasilkan resolusi konferensi New Delhi.
Pada tanggal 22 Juni 1945 disahkan sebuah piagam yang bernama PIAGAM JAKARTA. Piagam ini disahkan oleh Panitia Sembilan dimana Mr. Maramis sendiri menjadi anggota serta turut menandatanganinya. Piagam ini berbeda dengan Naskah Pembukaan UUD 1945. Letak perbedaannya ada pada butir Pancasila yang berbunyi “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dalam Pembukaan UUD 45, kalimat ini dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Mr. Maramis menjadi menteri RI sebanyak lima kali, yaitu sebagai Menteri Keuangan sebanyak empat kali, yaitu dalam Kabinet Pertama RI tanggal 19 Agustus 1945 sampai tanggal 14 November 1945, dalam Kabinet Amir Sjafruddin Pertama tanggal 3 Juli sampai tanggal 11 November 1947 mewakili PNI. Jabatan ini diteruskan kembali pada masa Kabinet Amir Sjafruddin Kedua dari tahun 1947 sampai 1948. Mr Maramis dipercayakan oleh Drs. Mohamad Hatta menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta Pertama atau yang disebut juga Presidentil Kabinet tahun 1948 sampai tahun 1949.
Tanggal 19 Desember 1948 pukul 6 pagi Belanda mengadakan Agresi Militer Ke-2 dan berhasil menawan para pemimpin negara yang dipimpin Ir. Sukarno dan Mohamad Hatta di Istana Presiden di Yogyakarta. Saat itu Mr. Maramis, L.N. Palar sedang berada di New Delhi untuk mengadakan suatu kunjungan antarnegara. Sebelum ditawan Belanda, Presiden sempat megirimkan mandat kepada Mr. Sjarifuddin Prawiranegara serta Mr. Maramis untuk mengadakan suatu pemerintahan darurat atau bila gagal, maka membentuk pemerintahan dalam pengasingan. Kemudian Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi Sumatera sebagai Pejabat Presiden dan Perdana Menteri. Mr. A.A. Maramis ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat PDRI tersebut dari tanggal 19 Desember 1948 Juli 1949. Setelah semuanya berjalan normal kembali, ia pun menjadi Menteri Keuangan seperti biasanya sejak tanggal 13 Juli 1949.
Prof. Mr. Arnold Mononutu
Nama : Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu (Arnold)
TTL : Manado, 4 Desember 1896
TTM : Jakarta, 5 September 1983
1947- 1949 Anggota Parlemen NIT – Ketua Fraksi Progresif
1949-1950 Menteri Penerangan Kabinet RIS (Pertama & Terakhir) (20 Des 1949 – 6 Sept 1950)
1951-1952 Menteri Penerangan Kabinet Sukiman – Suwirjo (27 April 1951 – 3 April 1952)
1952-1953 Menteri Penerangan Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953)
1953-1955 Duta Besar RI di Peking (Beijing) Cina
1956-1959 Anggota Konstituante RI
1960-1965 Rektor Universitas Hasanuddin
Di masa ia menjadi mahasiswa, ia menjadi aktivis gerakan kemerdekaan di Eropa. Saat itu ia menjadi “Duta” Indonesia di Eropa Barat.
Saat Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur, ia menjadi anggota Parlemen NIT. Ia lalu memprakarsai untuk memimpin suatu Misi Parlemen atau “Goodwill Mission” Parlemen NIT ke Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi Ibukota Republik Indonesia Serikat. Ia langsung mengadakan kontak dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Berkat jasa dan peranannyalah maka akhirnya NIT bubar dan Indonesia Timur bergabung dengan NKRI.
Nama : Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob RatuLangie
TTL : Tondano, 5 November 1890
TTM : Jakarta, 30 Juni 1949
Sam Ratulangi atau yang biasa dijuluki “The Old Man” ini adalah cendikiawan besar Minahasa yang paling utama pada abad 20. Ia bukan sarjana ilmu pasti alam, tapi sebagai politikus yang mampu membaca situasi saat itu. Ia mendirikan dan menjadi redaktur majalah “Nationale Comentaren” 1938-1942 yang terkenal dan dengan tulisannya mempengaruhi golongan intelektual agar cinta tanah air. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang meraih doktor dalam ilmu pasti dan alam.
Saat ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia-Belanda) mewakili Minahasa, ia sering mengucapkan pidato yang mengecam politik pemerintah Hindia Belanda. Karena sikap non-koperatifnya, ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada bulan Januari 1941.
Pada masa pendudukan, Jepang mendirikan sebuah badan bernama Pusat Tenaga Rakyat yang disingkat PUTERA. Badan ini sendiri dipimpin oleh kedua kawannya yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Sebenarnya badan ini akan dipimpin oleh DR. Sam Ratulangi namun ditolaknya dengan alasan ia bukan merupakan solusi untuk menjadi pimpinan dari badan yang akan menaungi suatu bangsa yang mayoritas beragama Islam serta kapasitasnya sebagai putera bangsa Minahasa yang notabene adalah bangsa yang dialergi oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia lainnya. Perlu diketahui bahwa DR. Sam Ratulangi saat menjadi mahasiswa di Zurich Swiss, ia terpilih menjadi ketua Asosiasi Mahasiswa se-Asia, dimana sejumlah anggotanya kelak menjadi tokoh-tokoh nasional di negaranya masing-masing seperti Jawaharlal Nehru dari India, Presiden Queson dari Filipina, serta Perdana Menteri Jepang Tojo. Sam Ratulangi memang dibujuk Jepang atas perintah Perdana Menteri yang bekas teman kuliahnya itu, namun ia menolak dengan meneluarkan argumen tersebut. Ia akhirnya dipercaya membentuk badan semacam PUTERA di pulau Sulawesi bernama Sumber Darah Rakyat disingkat SUDARA.
Aktivitas politiknya semakin hebat ketika menjelang dan sesudah kemerdekaan RI. Ia sempat duduk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kemduian pada 18 Agustus 1945 ia diangkat menjadi Gubernur pertama Provinsi Sulawesi di Makassar. Bersama stafnya, Om Sam ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui dan Biak Papua pada 5 April 1946. Tapi, ternyata di tempat pembuangan ia melatih para kader Papua. Tahun 1947 ia mendirikan Partai Kemerdekaan Irian dan diketuai oleh Silas Papare. Selain itu ia mendirikan organisasi “Ibunda Irian”. Pada Agustus 1948 Om Sam dibebaskan dan kembali Yogya. Namun pada bulan Desember 1948 ia dan para petinggi RI ditangkap pada saat Agresi Militer Belanda ke-2. Om Sam yang sedang sakit-sakitan meninggal dunia pada tanggal 30 Juni 1949 di Jakarta dengan status sebagai seorang tahanan musuh yaitu Belanda.
Arie Frederik Lasut - Pahlawan Nasional Indonesia
TTL : Kapataran – Tondano, 6 Juli 1918
TTM : Desa Pakem – Yogyakarta, 7 Mei 1949
Pada tanggal 16 Maret 1946 dalam usianya ke-28 tahun, ia diserahi tugas sebagai Kepala Jawatan Tambang dan Geologi RI di Bandung. Di samping itu, ia juga menjadi salah seorang pimpinan laskar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Ia adalah Komandan Kompi BS (Berdiri Sendiri) dalam Brigade 16 di Kesatuan Reserve Umum X.
Pada waktu itu, pihak Belanda ingin menguasai dokumen dan data tentang masalah pertambangan dan geologi di Indonesia. Arie Lasut diancam untuk menyerahkan dokumen-dokumen tersebut. Karena tidak berhasil, pihak Belanda kemudian merubah taktik dengan membujuknya dan menjanjikan pangkat yang tinggi dan gaji yang besar. Inipun tidak berhasil. Untuk menghindari ancaman dan bujukan Belanda, ia berpindah-pindah dan akhirnya pindah ke Yogya. Sedangkan dokumen-dokumen tersebut diungsikan oleh stafnya. Berbagai dokumen yang diselamatkan itu ternyata sangat berguna untuk pembangunan negara baru ini.
Ketika Belanda menduduki Yogya menduduki Yogya di tahun 1949, Arie Lasut Ditangkap dari rumahnya dan langsung dibawa ke desa Pakem. Di desa ini yang letaknya sekitar 7 kilometer sebelah utara Yogya, satu regu tembak KNIL melaksanakan hukuman tembak mati pada Arie Lasut. Ia tewas ditembak pada pukul 10 pagi tanggal 7 Mei 1949. Beberapa penduduk desa Pakem kemudian mengubur jenasah Lasut di desa itu.
Mr. Alex Andries Maramis
TTL : Paniki Bawah Manado, 20 Juni 1897
TTM : Jakarta , 31 Juli 1977
* Tahun 1943 telah duduk dalam Majelis Pertimbangan "POETERA"
* Tahun 1945 menjadi Anggota BPUPKI, kemudian dalam Kabinet Presidensial Pertama ia
menjadi Menteri Negara Kabinet RI yang Pertama tanggal Agustus – September 1945, serta
Menteri Keuangan yang kedua sejak tanggal 25 September 1945.
* Tahun 1947 dalam Kabinet ke-5 RI yaitu Kabinet Amir Sjarifuddin Pertama
sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI
* Tahun 1947 sampai tahun 1948 dalam Kabinet ke-6 RI yaitu Kabinet Amir Kedua juga
sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI
* Tahun 1948 sampai tahun 1949 dalam Kabinet Hatta Pertama (atau Presidentil Kabinet)
sebagai Menteri Keuangan
* Tahun 1948 sampai tahun 1949 saat Agresi Militer Belanda ke-2 duduk dalam
Kabinet Darurat dalam Pemerintah Darurat RI (PDRI) sebagai Menteri Luar Negeri.
* Tahun 1949, Mr A.A. Maramis menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Filipina,
kemudian menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Jerman,
terakhir menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Moskow.
Mr Maramis sering disebut sebagai “Orang Minahasa yang sering masuk kabinet RI”.
Setelah kekalahan Jepang di Pasifik mulai nampak pada tahun 1944-1945, tentara Jepang mulai memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Maka dibentuklah suatu badan yang bertujuan untuk menyelidiki kesiapan kemerdekaan Indonesia bernama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Badan ini terdiri dari 68 orang dimana Mr. A.A. Maramis juga menjadi anggotanya. Setelah BPUPKI, kemudian dirubah menjadi PPKI saat telah diproklamasikannya kemerdekaan RI. Mr. Maramis adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta duduk dalam Panitia Sembilan PPKI. Ia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai parlemen. Selain itu, saat Agresi Militer Belanda yang ke-2 pada bulan Desember 1948, Maramis ditugaskan ke India oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara dan saat itu ia menjabat Menteri Luar Negeri RI saat Soekarno-Hatta ditawan Belanda dan berhasil menghasilkan resolusi konferensi New Delhi.
Pada tanggal 22 Juni 1945 disahkan sebuah piagam yang bernama PIAGAM JAKARTA. Piagam ini disahkan oleh Panitia Sembilan dimana Mr. Maramis sendiri menjadi anggota serta turut menandatanganinya. Piagam ini berbeda dengan Naskah Pembukaan UUD 1945. Letak perbedaannya ada pada butir Pancasila yang berbunyi “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dalam Pembukaan UUD 45, kalimat ini dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Mr. Maramis menjadi menteri RI sebanyak lima kali, yaitu sebagai Menteri Keuangan sebanyak empat kali, yaitu dalam Kabinet Pertama RI tanggal 19 Agustus 1945 sampai tanggal 14 November 1945, dalam Kabinet Amir Sjafruddin Pertama tanggal 3 Juli sampai tanggal 11 November 1947 mewakili PNI. Jabatan ini diteruskan kembali pada masa Kabinet Amir Sjafruddin Kedua dari tahun 1947 sampai 1948. Mr Maramis dipercayakan oleh Drs. Mohamad Hatta menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta Pertama atau yang disebut juga Presidentil Kabinet tahun 1948 sampai tahun 1949.
Tanggal 19 Desember 1948 pukul 6 pagi Belanda mengadakan Agresi Militer Ke-2 dan berhasil menawan para pemimpin negara yang dipimpin Ir. Sukarno dan Mohamad Hatta di Istana Presiden di Yogyakarta. Saat itu Mr. Maramis, L.N. Palar sedang berada di New Delhi untuk mengadakan suatu kunjungan antarnegara. Sebelum ditawan Belanda, Presiden sempat megirimkan mandat kepada Mr. Sjarifuddin Prawiranegara serta Mr. Maramis untuk mengadakan suatu pemerintahan darurat atau bila gagal, maka membentuk pemerintahan dalam pengasingan. Kemudian Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi Sumatera sebagai Pejabat Presiden dan Perdana Menteri. Mr. A.A. Maramis ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat PDRI tersebut dari tanggal 19 Desember 1948 Juli 1949. Setelah semuanya berjalan normal kembali, ia pun menjadi Menteri Keuangan seperti biasanya sejak tanggal 13 Juli 1949.
Prof. Mr. Arnold Mononutu
Nama : Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu (Arnold)
TTL : Manado, 4 Desember 1896
TTM : Jakarta, 5 September 1983
1947- 1949 Anggota Parlemen NIT – Ketua Fraksi Progresif
1949-1950 Menteri Penerangan Kabinet RIS (Pertama & Terakhir) (20 Des 1949 – 6 Sept 1950)
1951-1952 Menteri Penerangan Kabinet Sukiman – Suwirjo (27 April 1951 – 3 April 1952)
1952-1953 Menteri Penerangan Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953)
1953-1955 Duta Besar RI di Peking (Beijing) Cina
1956-1959 Anggota Konstituante RI
1960-1965 Rektor Universitas Hasanuddin
Di masa ia menjadi mahasiswa, ia menjadi aktivis gerakan kemerdekaan di Eropa. Saat itu ia menjadi “Duta” Indonesia di Eropa Barat.
Saat Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur, ia menjadi anggota Parlemen NIT. Ia lalu memprakarsai untuk memimpin suatu Misi Parlemen atau “Goodwill Mission” Parlemen NIT ke Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi Ibukota Republik Indonesia Serikat. Ia langsung mengadakan kontak dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Berkat jasa dan peranannyalah maka akhirnya NIT bubar dan Indonesia Timur bergabung dengan NKRI.
L.N. Palar (alias Babe Palar)
Nama : Lambertus Nicodemus Palar
TTL : Rurukan – Tomohon, 5 Juni 1900
TTM : Jakarta, 13 Februari 1981
- Tahun 1947 : Pada saat pecah perang antara tentara kolonial Belanda dengan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, ia mengundurkan diri sebagai anggota Parlemen Negeri Belanda.
- Antara tahun 1947-1950 : diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Juru Bicara RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memperjuangkan kedaulatan Kemerdekaan Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB.
- Tahun 1950 memimpin misi ke Moskow untuk mendesak pemerintah Uni Sovyet agar tidak mem-veto usul masuknya Republik Indonesia menjadi anggota baru PBB.
- Setelah misi berhasil, Indonesia menjadi anggota baru PBB yang ke-60 pada tahun 1950.
- Antara tahun 1950-1953 diangkat menjadi Wakil Tetap RI yang pertama dengan pangkat Duta Besar untuk PBB.
L.N.Palar, atau Nico Palar, adalah sosok negarawan Indonesia asal Minahasa, sebagai seorang Kawanua tulen, mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh. Dia seorang Duta Besar profesional atau karir yang luar biasa dan berkuasa penuh di pusat-pusat dunia yang serba berat, yaitu di PBB dua kali, New Delhi India, Bonn Jerman, Moskow Uni Soviet, Ottawa Kanada, dan Washington Amerika Serikat sejak tahun 1947 hingga tahun 1970.
Sejak tahun 1936 ia berada di Belanda dan setelah Perang Dunia ia menjadi Anggota Parlemen negeri Belanda untuk mewakili Partai Buruh Belanda. Pada tahun 1947 ia pergi ke Indonesia bersama-sama orang Indonesia dalam rombongan besar pulang ke Indonesia dari Eropa untuk membantu perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
Sebagai Anggota Parlemen Belanda, dia diterima dengan protokol yang sewajarnya oleh Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Sutan Syahrir dan Wakil Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim kemudian diterima oleh Presiden Soekarno. Semula, dia datang ke Indonesia dengan maksud hanya sekedar meninjau keadaan Indonesia atas nama Partai Buruh Belanda. Namun pertemuannya dengan Sukarno mengubah maksudnya itu.
Tahun 1947 itu juga ia mengundurkan diri sebagai anggota Parlemen Negeri Belanda dan diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Juru Bicara RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memperjuangkan kedaulatan Kemerdekaan Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB.
Tahun 1950 ia memimpin misi agar Indonesia bisa menjadi anggota baru PBB yang ke-60 pada tahun 1950. Kemudian tahun 1950-1953 ia diangkat menjadi Wakil Tetap RI yang pertama dengan jabatan Duta Besar untuk PBB.
Nama : Lambertus Nicodemus Palar
TTL : Rurukan – Tomohon, 5 Juni 1900
TTM : Jakarta, 13 Februari 1981
- Tahun 1947 : Pada saat pecah perang antara tentara kolonial Belanda dengan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, ia mengundurkan diri sebagai anggota Parlemen Negeri Belanda.
- Antara tahun 1947-1950 : diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Juru Bicara RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memperjuangkan kedaulatan Kemerdekaan Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB.
- Tahun 1950 memimpin misi ke Moskow untuk mendesak pemerintah Uni Sovyet agar tidak mem-veto usul masuknya Republik Indonesia menjadi anggota baru PBB.
- Setelah misi berhasil, Indonesia menjadi anggota baru PBB yang ke-60 pada tahun 1950.
- Antara tahun 1950-1953 diangkat menjadi Wakil Tetap RI yang pertama dengan pangkat Duta Besar untuk PBB.
L.N.Palar, atau Nico Palar, adalah sosok negarawan Indonesia asal Minahasa, sebagai seorang Kawanua tulen, mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh. Dia seorang Duta Besar profesional atau karir yang luar biasa dan berkuasa penuh di pusat-pusat dunia yang serba berat, yaitu di PBB dua kali, New Delhi India, Bonn Jerman, Moskow Uni Soviet, Ottawa Kanada, dan Washington Amerika Serikat sejak tahun 1947 hingga tahun 1970.
Sejak tahun 1936 ia berada di Belanda dan setelah Perang Dunia ia menjadi Anggota Parlemen negeri Belanda untuk mewakili Partai Buruh Belanda. Pada tahun 1947 ia pergi ke Indonesia bersama-sama orang Indonesia dalam rombongan besar pulang ke Indonesia dari Eropa untuk membantu perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
Sebagai Anggota Parlemen Belanda, dia diterima dengan protokol yang sewajarnya oleh Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Sutan Syahrir dan Wakil Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim kemudian diterima oleh Presiden Soekarno. Semula, dia datang ke Indonesia dengan maksud hanya sekedar meninjau keadaan Indonesia atas nama Partai Buruh Belanda. Namun pertemuannya dengan Sukarno mengubah maksudnya itu.
Tahun 1947 itu juga ia mengundurkan diri sebagai anggota Parlemen Negeri Belanda dan diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Juru Bicara RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memperjuangkan kedaulatan Kemerdekaan Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB.
Tahun 1950 ia memimpin misi agar Indonesia bisa menjadi anggota baru PBB yang ke-60 pada tahun 1950. Kemudian tahun 1950-1953 ia diangkat menjadi Wakil Tetap RI yang pertama dengan jabatan Duta Besar untuk PBB.
Robert Wolter Mongisidi - Pahlawan Nasional Indonesia
Nama : Robert Wolter Mongisidi (Bote)
TTL : Malalayang, 14 Februari 1925
TTM : Makassar, 5 September 1949
Pada masa pendudukan Jepang dia mengajar di Malalayang dan Liwutung – Ratahan. Kemudian tahun 1944 menjadi guru di Luwuk-Banggai Sulawesi Tengah dan tahun 1945 menjadi pegawai sipil kepolisian Jepang di Makassar.
Tahun 1945 ia menjadi Sekretaris LAPRIS (Laskar Pejuang Republik Indonesia Sulawesi) dibawah pimpinan Ranggong Daeng Romo di Sulawesi Selatan. Ia merupakan ekstrimis Indonesia yang paling dicari-cari oleh tentara NICA-KNIL. Ia sering mengadakan memimpin serangan gerilya terhadap kedudukan pasukan KNIL dan tentara elit baret hijau pimpinan Kapten Raymond Westerling. Karena prestasi ini dia menjadi populer di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Komentar Westerling terhadap Wolter Mongisidi beberapa puluh tahun kemudian adalah : “...Wolter Monginsidi, dia pintar berkelahi namun ia bukan penjahat. Saya pernah bertempur melawan dia.”
Ia dua kali tertangkap oleh Belanda. Pertama tanggal 28 Februari 1947 namun berhasil melarikan diri dari tahanan. Tanggal 26 Oktober 1947 ia tertangkap untuk yang kedua kalinya dan tempat ia ditahan pun dijaga ketat agar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Saat Indonesia diambang pengakuan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949, ia didesak oleh berbagai organisasi, pemerintah Indonesia, pemerintah NIT agar ia diberikan grasi dan dibebaskan. Namun pemerintah NICA menolak membebaskannya. Akhirnya, tiga bulan sebelum pengakuan kedaulatan itu, tanggal 5 September 1949, ia ditembak mati di hadapan regu tembak tentara NICA-KNIL. Saat ia ditembak mati di hadapan regu tembak, ia meminta untuk tidak diikat kedua tangannya, dan sambil memegang Alkitab dan berdoa, kemudian ia ditembak mati. Di dalam Alkitab tersebut didapati tulisan “Setia hingga terachir didalam kejakinan” tertanggal 5 September 1949.
Nama : Robert Wolter Mongisidi (Bote)
TTL : Malalayang, 14 Februari 1925
TTM : Makassar, 5 September 1949
Pada masa pendudukan Jepang dia mengajar di Malalayang dan Liwutung – Ratahan. Kemudian tahun 1944 menjadi guru di Luwuk-Banggai Sulawesi Tengah dan tahun 1945 menjadi pegawai sipil kepolisian Jepang di Makassar.
Tahun 1945 ia menjadi Sekretaris LAPRIS (Laskar Pejuang Republik Indonesia Sulawesi) dibawah pimpinan Ranggong Daeng Romo di Sulawesi Selatan. Ia merupakan ekstrimis Indonesia yang paling dicari-cari oleh tentara NICA-KNIL. Ia sering mengadakan memimpin serangan gerilya terhadap kedudukan pasukan KNIL dan tentara elit baret hijau pimpinan Kapten Raymond Westerling. Karena prestasi ini dia menjadi populer di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Komentar Westerling terhadap Wolter Mongisidi beberapa puluh tahun kemudian adalah : “...Wolter Monginsidi, dia pintar berkelahi namun ia bukan penjahat. Saya pernah bertempur melawan dia.”
Ia dua kali tertangkap oleh Belanda. Pertama tanggal 28 Februari 1947 namun berhasil melarikan diri dari tahanan. Tanggal 26 Oktober 1947 ia tertangkap untuk yang kedua kalinya dan tempat ia ditahan pun dijaga ketat agar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Saat Indonesia diambang pengakuan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949, ia didesak oleh berbagai organisasi, pemerintah Indonesia, pemerintah NIT agar ia diberikan grasi dan dibebaskan. Namun pemerintah NICA menolak membebaskannya. Akhirnya, tiga bulan sebelum pengakuan kedaulatan itu, tanggal 5 September 1949, ia ditembak mati di hadapan regu tembak tentara NICA-KNIL. Saat ia ditembak mati di hadapan regu tembak, ia meminta untuk tidak diikat kedua tangannya, dan sambil memegang Alkitab dan berdoa, kemudian ia ditembak mati. Di dalam Alkitab tersebut didapati tulisan “Setia hingga terachir didalam kejakinan” tertanggal 5 September 1949.
Mayor Daan Mogot – Pendiri / Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang
Nama : Mayor Elias Daniel Mogot
TTL : Manado, 28 Desember 1928
TTM : Tangerang, 25 Januari 1946
Peranan-Peranan:
- 1942 sebagai pelatih anggota PETA (Pembela Tanah Air) di Bali lalu di Jakarta
- 1945 sebagai Komandan TKR di Jakarta (pangkat Mayor)
- 1945 sebagai Pendiri dan Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) bulan November
- gugur di Hutan Lengkong bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang
Tahun 1945 ia menjadi komandan TKR bersama sahabat karibnya Kemal Idris dengan pangkat mayor yang membawahi bekas anak buahnya saat menjadi pelatih tentara PETA di Jakarta. Bulan November 1945 ia bersama Kemal Idris, Daan Yahya, dan Komandan Resimen Tangerang mendirikan Akademi Militer Tangerang (M.A.T.). Ia kemudian menjadi Direktur Akademi Militernya yang pertama. Seringkali tarunanya diminta untuk mengawal kereta api yang mengangkut logistik untuk sekutu melewati daerah rawan ekstrimis nasionalis. Tanggal 25 Januari 1946 ia memimpin 33 orang Taruna Akademi Militer bersama 4 perwira Akademi dan sepuluh orang tentara Gurka Inggris menemui markas Jepang di hutan Lengkong untuk melucuti senjata-senjata mereka sebelum dilucuti oleh Belanda. Saat sebagian senjata sedang diangkut, tiba-tiba terdengar tembakan yang tidak diketahui keberadaannya. Senjata-senjata yang telah diserahkan langsung direbut kembali oleh Jepang. Mayor Daan Mogot yang saat itu sedang bernegosiasi dengan Kapten Abe berusaha menengahi tembak menembak itu. Akhirnya Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada dan berusaha menembak lawan dengan senapan mesin sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Nama : Mayor Elias Daniel Mogot
TTL : Manado, 28 Desember 1928
TTM : Tangerang, 25 Januari 1946
Peranan-Peranan:
- 1942 sebagai pelatih anggota PETA (Pembela Tanah Air) di Bali lalu di Jakarta
- 1945 sebagai Komandan TKR di Jakarta (pangkat Mayor)
- 1945 sebagai Pendiri dan Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) bulan November
- gugur di Hutan Lengkong bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang
Tahun 1945 ia menjadi komandan TKR bersama sahabat karibnya Kemal Idris dengan pangkat mayor yang membawahi bekas anak buahnya saat menjadi pelatih tentara PETA di Jakarta. Bulan November 1945 ia bersama Kemal Idris, Daan Yahya, dan Komandan Resimen Tangerang mendirikan Akademi Militer Tangerang (M.A.T.). Ia kemudian menjadi Direktur Akademi Militernya yang pertama. Seringkali tarunanya diminta untuk mengawal kereta api yang mengangkut logistik untuk sekutu melewati daerah rawan ekstrimis nasionalis. Tanggal 25 Januari 1946 ia memimpin 33 orang Taruna Akademi Militer bersama 4 perwira Akademi dan sepuluh orang tentara Gurka Inggris menemui markas Jepang di hutan Lengkong untuk melucuti senjata-senjata mereka sebelum dilucuti oleh Belanda. Saat sebagian senjata sedang diangkut, tiba-tiba terdengar tembakan yang tidak diketahui keberadaannya. Senjata-senjata yang telah diserahkan langsung direbut kembali oleh Jepang. Mayor Daan Mogot yang saat itu sedang bernegosiasi dengan Kapten Abe berusaha menengahi tembak menembak itu. Akhirnya Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada dan berusaha menembak lawan dengan senapan mesin sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Kolonel Alex E. Kawilarang – Sesepuh TNI
Nama : Alexander Evert KAWILARANG (alias Alex alias Lex)
TTL : Mestercornelis Jatinegara Jakarta, 23 Februari 1920
TTM : Jakarta, 6 Juni 2000
Tahun 1941 ia masuk Akademi Militer Kerajaan Belanda yang waktu itu dibuka secara darurat di Bandung karena negeri Belanda waktu itu telah dijajah Jerman dalam Perang Dunia kedua. Diantara kadet-kadet tersebut ada tujuh orang Indonesia yang disiapkan menjadi serdadu infanteri seperti A.H. Nasution, Rachmat Kertakusuma, Andre Mantiri, satu di prajurit zeni yaitu TB Simatupang, satu di artileri yaitu Askari.
Pada saat Jepang menduduki Hindia Belanda, seluruh tentara KNIL ditawan, termasuk diantaranya adalah Alex Kawilarang. Lalu ia dan beberapa temannya melarikan diri dari kamp tawanan.
Setelah mendengar Indonesia merdeka, ia menjadi opsir penghubung dengan Pasukan Inggris di Jakarta (dengan pangkat Mayor). Sesudah itu ia menjadi Kepala Staf Resimen Bogor dengan pangkat Letkol sejak bulan Januari 1946. Sesudah itu ia menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor pada bulan April-Mei 1946, lalu menjadi Komandan Brigade II/Suryakencana di Sukabumi-Bogor-Cianjur sejak bulan Agustus 1946. Ajudannya adalah Yogie S. Memet yang kelak menjadi Menteri RI.
Pada tahun 1948-1949 menjadi Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta lalu dipindahkan ke Sumatera menjadi Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli Sumatera Timur Selatan sejak tanggal 28 November 1948. Anak buahnya di situ adalah Mayor Maraden Panggabean yang kelak menjadi Panglima ABRI. Sedangkan ajudannya sejak ia dari Jawa Barat adalah Yogie S. Memet yang kemudian menjadi menteri. Menurut cerita, anak buahnyalah yang membunuh Panglima KNIL di Indonesia yaitu Jenderal Spoor di jalan antara Sibolga Medan.
Pada tahun 1949-1950 ia diangkat menjadi Gubernur Militer Aceh & Sumut merangkap Wakil Koordinator Keamanan (Sejak 28 Des 1949) Komandan Territorium I/Sumatera Utara dengan pangkat Kolonel lalu menjadi Panglima Tentara & Territorium I Bukit Barisan di Medan sejak 21 Februari 1950.
Setelah itu ia menjadi Panglima Tentara & Teritorium VII/Indonesia Timur yang pertama. Sejumlah besar anak buahnya kelak menjadi orang besar, antara lain Presiden Soeharto, ajudan Jenderal Yogie S. Memet, ajudan Jenderal M. Jusuf, Jenderal M. Panggabean
Nama : Alexander Evert KAWILARANG (alias Alex alias Lex)
TTL : Mestercornelis Jatinegara Jakarta, 23 Februari 1920
TTM : Jakarta, 6 Juni 2000
Tahun 1941 ia masuk Akademi Militer Kerajaan Belanda yang waktu itu dibuka secara darurat di Bandung karena negeri Belanda waktu itu telah dijajah Jerman dalam Perang Dunia kedua. Diantara kadet-kadet tersebut ada tujuh orang Indonesia yang disiapkan menjadi serdadu infanteri seperti A.H. Nasution, Rachmat Kertakusuma, Andre Mantiri, satu di prajurit zeni yaitu TB Simatupang, satu di artileri yaitu Askari.
Pada saat Jepang menduduki Hindia Belanda, seluruh tentara KNIL ditawan, termasuk diantaranya adalah Alex Kawilarang. Lalu ia dan beberapa temannya melarikan diri dari kamp tawanan.
Setelah mendengar Indonesia merdeka, ia menjadi opsir penghubung dengan Pasukan Inggris di Jakarta (dengan pangkat Mayor). Sesudah itu ia menjadi Kepala Staf Resimen Bogor dengan pangkat Letkol sejak bulan Januari 1946. Sesudah itu ia menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor pada bulan April-Mei 1946, lalu menjadi Komandan Brigade II/Suryakencana di Sukabumi-Bogor-Cianjur sejak bulan Agustus 1946. Ajudannya adalah Yogie S. Memet yang kelak menjadi Menteri RI.
Pada tahun 1948-1949 menjadi Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta lalu dipindahkan ke Sumatera menjadi Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli Sumatera Timur Selatan sejak tanggal 28 November 1948. Anak buahnya di situ adalah Mayor Maraden Panggabean yang kelak menjadi Panglima ABRI. Sedangkan ajudannya sejak ia dari Jawa Barat adalah Yogie S. Memet yang kemudian menjadi menteri. Menurut cerita, anak buahnyalah yang membunuh Panglima KNIL di Indonesia yaitu Jenderal Spoor di jalan antara Sibolga Medan.
Pada tahun 1949-1950 ia diangkat menjadi Gubernur Militer Aceh & Sumut merangkap Wakil Koordinator Keamanan (Sejak 28 Des 1949) Komandan Territorium I/Sumatera Utara dengan pangkat Kolonel lalu menjadi Panglima Tentara & Territorium I Bukit Barisan di Medan sejak 21 Februari 1950.
Setelah itu ia menjadi Panglima Tentara & Teritorium VII/Indonesia Timur yang pertama. Sejumlah besar anak buahnya kelak menjadi orang besar, antara lain Presiden Soeharto, ajudan Jenderal Yogie S. Memet, ajudan Jenderal M. Jusuf, Jenderal M. Panggabean
Kolonel Joop Warouw
Nama : Jacob Frederick Warouw (alias Joop)
TTL : Batavia, 8 September 1917
TTM : Tombatu, antara 10-15 Oktober 1960
Kolonel Joop Warouw, yang sempat menempuh ilmu di STOVIL alias Sekolah Penolong Injil Pribumi di Tomohon ini sempat diperbantukan pada sebuah unit lampu senter (lampu sorot) tentara Jepang tahun 1940 untuk menghadapi pesawat tempur Sekutu malam hari. Mulanya, saat diinterogasi tentara Jepang, ia dan temannya mengaku mampu membetulkan lampu sorot dan perkakas lainnya. Setelah ia memperagakan membetulkan peralatan Jepang, akhirnya ia diperbantukan diperbantukan pada sebuah unit lampu senter (lampu sorot). Padahal sebelumnya ia dan temanya telah mempreteli dan menyembunyikan bout dan komponen kecil itu.
Kemudian tahun 1942-1954 ia menjadi anggota organisasi Hantyo Ittokyu yang disponsori Jepang.
Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, ia menjadi Wakil Pimpinan Bagian Pasukan PERISAI (Pemuda Republik Indonesia Sulawesi) merangkap Kepala Pasukan setingkat regu.
Lalu menjadi Kepala Barisan PRI Sulawesi (PERISAI) pada tanggal 9 Oktober 1945. PERISAI ini juga dikenal dengan nama KRIS Surabaya. Ia menjadi salah satu Komandan Regu Barisan Istimewa PERISAI bersama-sama dengan Yus .Somba, Utu’ Lalu, Kembi H.V.Worang. Yang merupakan pasukan elit KRIS Surabaya.
* Tahun 1946 ia menjadi Wakil Komandan dan Kepala Staf Divisi VI Tentara Laut RI (TLRI) merangkap Kepala Personalia di Lawang- Jawa Tengah dengan pangkat Letkol.
* Tahun 1946-1948 Divisi VI ALRI ini dirubah menjadi Pangkalan Sepuluh ALRI dimana ia menjadi Wakil Komandan/Kepala Staf ALRI Pangkalan X di Situbondo Jatim merangkap Kepala Seksi Operasi.
* Tahun 1948-1950 ia menjadi Komandan Brigade XVI di Yogyakarta, lalu ia ikut Pasukan Seberang menuju ke Indonesia Timur. Waktu itu ia dan anak buahnya sempat mengunjungi Letkol Lembong, yaitu Komandan KRIS di Bandung beberapa saat sebelum ia dibantai oleh APRA.
* Tahun 1950-1952 ia menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) B - Sulawesi Utara & Maluku Utara di Manado (dengan membawahi Resimen Infanteri 24), dilanjutkan menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) D - Maluku Selatan di Ambon (dengan membawahi Resimen Infanteri 25), terakhir menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) A - Sulawesi Selatan membawahi Resimen Infanteri 23 di Makassar.
Tambahan:
Ia dikabarkan sebagai orang yang menembak Jenderal Mallaby, Panglima Pasukan Inggris di Surabaya, yang mana peristiwa ini menjadi penyulut meletusnya Peristiwa 10 November 1945 Surabaya. Tanggal 31 Oktober Joop Warouw mengundang J.H. Tamboto untuk memeriksa pasukannya di Jembatan Merah. Kemudian menreka menaiki gedung bank di depan Jembatan Merah tersebut untuk meninjau keadaan kota. Mereka berdua tertarik dengan iring-iringan dari gedung Internatio bersama dengan Brigjen Mallaby dengan kapten pengawalnya.
Ketika kendaraan mendekati Jembatan Merah, karaben Joop Warouw mengeluarkan tembakan dua kali berturut-turut kemudian melihat kendaraan itu mulai terbakar, dan semua melompat keluar masuk tepi kuala kecuali Brigjen Mallaby yang tidak sempat keluar dan terbakar bersama sedan tersebut.
Nama : Jacob Frederick Warouw (alias Joop)
TTL : Batavia, 8 September 1917
TTM : Tombatu, antara 10-15 Oktober 1960
Kolonel Joop Warouw, yang sempat menempuh ilmu di STOVIL alias Sekolah Penolong Injil Pribumi di Tomohon ini sempat diperbantukan pada sebuah unit lampu senter (lampu sorot) tentara Jepang tahun 1940 untuk menghadapi pesawat tempur Sekutu malam hari. Mulanya, saat diinterogasi tentara Jepang, ia dan temannya mengaku mampu membetulkan lampu sorot dan perkakas lainnya. Setelah ia memperagakan membetulkan peralatan Jepang, akhirnya ia diperbantukan diperbantukan pada sebuah unit lampu senter (lampu sorot). Padahal sebelumnya ia dan temanya telah mempreteli dan menyembunyikan bout dan komponen kecil itu.
Kemudian tahun 1942-1954 ia menjadi anggota organisasi Hantyo Ittokyu yang disponsori Jepang.
Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, ia menjadi Wakil Pimpinan Bagian Pasukan PERISAI (Pemuda Republik Indonesia Sulawesi) merangkap Kepala Pasukan setingkat regu.
Lalu menjadi Kepala Barisan PRI Sulawesi (PERISAI) pada tanggal 9 Oktober 1945. PERISAI ini juga dikenal dengan nama KRIS Surabaya. Ia menjadi salah satu Komandan Regu Barisan Istimewa PERISAI bersama-sama dengan Yus .Somba, Utu’ Lalu, Kembi H.V.Worang. Yang merupakan pasukan elit KRIS Surabaya.
* Tahun 1946 ia menjadi Wakil Komandan dan Kepala Staf Divisi VI Tentara Laut RI (TLRI) merangkap Kepala Personalia di Lawang- Jawa Tengah dengan pangkat Letkol.
* Tahun 1946-1948 Divisi VI ALRI ini dirubah menjadi Pangkalan Sepuluh ALRI dimana ia menjadi Wakil Komandan/Kepala Staf ALRI Pangkalan X di Situbondo Jatim merangkap Kepala Seksi Operasi.
* Tahun 1948-1950 ia menjadi Komandan Brigade XVI di Yogyakarta, lalu ia ikut Pasukan Seberang menuju ke Indonesia Timur. Waktu itu ia dan anak buahnya sempat mengunjungi Letkol Lembong, yaitu Komandan KRIS di Bandung beberapa saat sebelum ia dibantai oleh APRA.
* Tahun 1950-1952 ia menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) B - Sulawesi Utara & Maluku Utara di Manado (dengan membawahi Resimen Infanteri 24), dilanjutkan menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) D - Maluku Selatan di Ambon (dengan membawahi Resimen Infanteri 25), terakhir menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) A - Sulawesi Selatan membawahi Resimen Infanteri 23 di Makassar.
Tambahan:
Ia dikabarkan sebagai orang yang menembak Jenderal Mallaby, Panglima Pasukan Inggris di Surabaya, yang mana peristiwa ini menjadi penyulut meletusnya Peristiwa 10 November 1945 Surabaya. Tanggal 31 Oktober Joop Warouw mengundang J.H. Tamboto untuk memeriksa pasukannya di Jembatan Merah. Kemudian menreka menaiki gedung bank di depan Jembatan Merah tersebut untuk meninjau keadaan kota. Mereka berdua tertarik dengan iring-iringan dari gedung Internatio bersama dengan Brigjen Mallaby dengan kapten pengawalnya.
Ketika kendaraan mendekati Jembatan Merah, karaben Joop Warouw mengeluarkan tembakan dua kali berturut-turut kemudian melihat kendaraan itu mulai terbakar, dan semua melompat keluar masuk tepi kuala kecuali Brigjen Mallaby yang tidak sempat keluar dan terbakar bersama sedan tersebut.
Mayor H.N. Ventje Sumual
TTL : Remboken/Minahasa, 11 Juni 1923
* 1945-1948 : - Jakarta liaison officer untuk KRIS
- Pucuk Pimpinan Laskar "KRIS" (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) di Yogya
- Dalam Perang Kemerdekaan I sbg Perwira Staf Brigade-XII (ex Laskar KRIS)
di Yogyakarta
* 1948-1950 : - Kepala Staf KRU-X (ex Brigade XII) di Yogyakarta
- Kepala Staf Brigade-XVI (ex KRU-X) di Yogyakarta (1948)
- Komandan SWK-103A dalam WK-III di Yogyakarta (1949)
* 1950-1952 : - Perwira Staf Angkata Darat di Jakarta
- Pamen (perwira menengah) pada Komisi Militer Indonesia Timur di Manado
- Perwira Menengah Komando Pasukan Sulawesi Utara/Tengah & Maluku di Manado
- Komandan Komando Pasukan SU-MU (KOMPAS B) di Manado (RI-24)
* 1952-1953 : - Mengikuti pendidikan Militer Sekolah Staf & Komando Angkatan Darat di Bandung
- Kasi-I Inspektorat Infanteri Angkatan Darat di Bandung
* 1953-1956 : - Komandan Latihan & Inspektur Pendidikan di Bandung
Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sebagai Komandan SWK-103A/Jogja Barat WK-III, memimpin serangan dari arah barat serta berhasil menyerang markas besar tentara Belanda (T-Brigade) di tengah-tengah kota Yogyakarta
TTL : Remboken/Minahasa, 11 Juni 1923
* 1945-1948 : - Jakarta liaison officer untuk KRIS
- Pucuk Pimpinan Laskar "KRIS" (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) di Yogya
- Dalam Perang Kemerdekaan I sbg Perwira Staf Brigade-XII (ex Laskar KRIS)
di Yogyakarta
* 1948-1950 : - Kepala Staf KRU-X (ex Brigade XII) di Yogyakarta
- Kepala Staf Brigade-XVI (ex KRU-X) di Yogyakarta (1948)
- Komandan SWK-103A dalam WK-III di Yogyakarta (1949)
* 1950-1952 : - Perwira Staf Angkata Darat di Jakarta
- Pamen (perwira menengah) pada Komisi Militer Indonesia Timur di Manado
- Perwira Menengah Komando Pasukan Sulawesi Utara/Tengah & Maluku di Manado
- Komandan Komando Pasukan SU-MU (KOMPAS B) di Manado (RI-24)
* 1952-1953 : - Mengikuti pendidikan Militer Sekolah Staf & Komando Angkatan Darat di Bandung
- Kasi-I Inspektorat Infanteri Angkatan Darat di Bandung
* 1953-1956 : - Komandan Latihan & Inspektur Pendidikan di Bandung
Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sebagai Komandan SWK-103A/Jogja Barat WK-III, memimpin serangan dari arah barat serta berhasil menyerang markas besar tentara Belanda (T-Brigade) di tengah-tengah kota Yogyakarta
Kiri: Kolonel Evert Langkay & Letkol Jan RapparTengah: Letkol Adolf G. LembongKanan: Letkol A.G. Lembong & Letkol. Joop Warouw
Letkol Adolf G. LembongTTL : Ongkau, Minsel
TTM : Bandung, 15 Agustus 1950
Letkol Adolf G. LembongTTL : Ongkau, Minsel
TTM : Bandung, 15 Agustus 1950
Mulanya
ia masuk tentara KNIL Hindia Belanda dalam pendidikan calon perwira,
kemudian dikirim sebagai anggota pasukan sekutu ABDA (Amerika Serikat,
Inggris, Belanda, Australia) ke Filipina tahun 1943 untuk berperang
melawan Jepang. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, dengan pangkat Kapten
sekutu, ia pergi ke Jawa Timur dan tahun 1947 bergabung dengan tentara
Indonesia dan diangkat menjadi Komandan Brigade XVI/Pasukan Seberang
putera daerah dengan pangkat Letkol pada tahun 1948. Ia sempat ditawan
oleh Belanda di Ambarawa. Letkol Lembong sedang direncanakan untuk
menjabat sebagai Atase Militer RI di Filipina karena latar belakangnya
dalam Perang Dunia ke-2 di Filipina sebagai tentara sekutu. . Ia
kemudian dipanggil Markas Besar TNI untuk menyusun perencanaan
organisasi militer TNI karena ia telah berpengalaman di Filipina sebagai
tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat dalam hal pendidikan setingkat
kompi. Letkol Lembong diangkat sebagai Kepala Bagian Pendidikan Militer
TNI-AD di Bandung. Namun ia tak sempat menjabati jabatan itu karena pada
bulan Januari 1950 sekitar seribu tentara KNIL yang menamakan dirinya
APRA pimpinan Westerling menyerbu Bandung. Letkol Lembong yang baru
tiba, kemudian masuk di markas Divisi Siliwangi yang tak ia tahu sudah
diduduki APRA. Letkol A.G. Lembong sebagai petinggi APRIS di wilayah itu
pun gugur di tempat karena tembakan bertubi-tubi dan tusukan bayonet
APRA.
Kolonel Evert Langkay
Tanggal 8 Oktober 1945 berdirilah sebuah organisasi yang bernama Kebaktian Rakyat Indonesia Sulaewsi atau KRIS. Ketuanya Bart Ratulangi, Sekretaris Kahar Muzakar, urusan sosial oleh Zus Ratulangi dan Bagian Pertahanan dipegang Eivert Langkay, yang di kalangan KRIS lebih dikenal sebagai Panglima KRIS. Sebelum proklamasi, Langkay memang menguasai semua berandalan di wilayah Senen dan sekitarnya. Ia memang sudah biasa memimpin pasukan. Pasukannya Surya Wirawan sudah dikenal luas. Dari awal Laskar KRIS dikenal terlalu nekat. Pimpinan mereka antara lain Jan Rappar, Lombogia, Lukas Palar, Alex Pangemanan, Vence Lasut, Piet Sumilat, Heitje Korouw, Piet Sibi, Kodongan. KRIS paling sering menyerang langsung ke markas Batalyon 10 tentara musuh di Kwitang, pasukan marinir di Menteng, dan berbagai pos penting di Jakarta, Krawang, Yogyakarta, Surabaya, dan lainnya. Hampir tiap hari tentara sekutu harus menghadapi gempuran Laskar KRIS. Tak jarang KRIS menerima order berperang dari kelompok pejuang lain jika hendak melakukan gempuran yang agak besar. Setelah memimpin pengawalan para pemimpin republik, langsung berangkat ke Surabaya menemui Bung Tomo untuk membicarakan masalah yg menimpa keluarga-keluarga Minahasa yang mulai dibantai di kota ini.
Tanggal 8 Oktober 1945 berdirilah sebuah organisasi yang bernama Kebaktian Rakyat Indonesia Sulaewsi atau KRIS. Ketuanya Bart Ratulangi, Sekretaris Kahar Muzakar, urusan sosial oleh Zus Ratulangi dan Bagian Pertahanan dipegang Eivert Langkay, yang di kalangan KRIS lebih dikenal sebagai Panglima KRIS. Sebelum proklamasi, Langkay memang menguasai semua berandalan di wilayah Senen dan sekitarnya. Ia memang sudah biasa memimpin pasukan. Pasukannya Surya Wirawan sudah dikenal luas. Dari awal Laskar KRIS dikenal terlalu nekat. Pimpinan mereka antara lain Jan Rappar, Lombogia, Lukas Palar, Alex Pangemanan, Vence Lasut, Piet Sumilat, Heitje Korouw, Piet Sibi, Kodongan. KRIS paling sering menyerang langsung ke markas Batalyon 10 tentara musuh di Kwitang, pasukan marinir di Menteng, dan berbagai pos penting di Jakarta, Krawang, Yogyakarta, Surabaya, dan lainnya. Hampir tiap hari tentara sekutu harus menghadapi gempuran Laskar KRIS. Tak jarang KRIS menerima order berperang dari kelompok pejuang lain jika hendak melakukan gempuran yang agak besar. Setelah memimpin pengawalan para pemimpin republik, langsung berangkat ke Surabaya menemui Bung Tomo untuk membicarakan masalah yg menimpa keluarga-keluarga Minahasa yang mulai dibantai di kota ini.
Kapten D.J. Somba (Yus)
Nama : Daniel Julius Somba (alias Yus)
TTL : Jawa Tengah, 26 Juli 1923
Peranan-peranan / Kegiatan :
* pra 1945 : - Anggota organisasi Pembela Tanah Air (PETA)
* 1945-1948 : - Komandan pasukan Barisan Istimewa PRISAI (KRIS Jawa Timur)
- Anggota Divisi VI ALRI di Jawa Timur
* 1949 : - Komandan Kompi I Batalyon Worang dalam Brigade XVI
* 1950 : - Sebagai Komandan Kompi I Batalyon Worang,
Ikut operasi Penumpasan pemberontakan di Indonesia Timur
* 1951-1952 : - Komandan Bn.702 di Makassar
* 1953 : - Komandan Bn.707 di Ambon
Nama : Daniel Julius Somba (alias Yus)
TTL : Jawa Tengah, 26 Juli 1923
Peranan-peranan / Kegiatan :
* pra 1945 : - Anggota organisasi Pembela Tanah Air (PETA)
* 1945-1948 : - Komandan pasukan Barisan Istimewa PRISAI (KRIS Jawa Timur)
- Anggota Divisi VI ALRI di Jawa Timur
* 1949 : - Komandan Kompi I Batalyon Worang dalam Brigade XVI
* 1950 : - Sebagai Komandan Kompi I Batalyon Worang,
Ikut operasi Penumpasan pemberontakan di Indonesia Timur
* 1951-1952 : - Komandan Bn.702 di Makassar
* 1953 : - Komandan Bn.707 di Ambon
Kapten Arie Supit
Nama : Letkol. Arie Willy Supit
TTL : Telukbetung, 13 Juli 1923
TTM : 1986
* 1945 : - dalam kelompok mahasiswa penjaga & hadir pada detik² Proklamasi RI
- sebagai Pengawal Bung Karno dalam Rapat Raksasa di Lapangan
- anggota kelompok mahasiswa yang dikirim ke Solo & Madiun konsolidasi
kembali pasukan PETA
- anggota penghubung di kantor Cilacap
- Komandan Kompi-11 Polisi Tentara di Resimen Singgih-Tangerang
* 1946 : - Komandan Kompi II Brigade Suryakencana
- dalam Perang Kemerdekaan I, bergerilya di sekitar Sukabumi-Cianjur-Bogor
* 1948 : - hijrah dengan pasukan Divisi Siliwangi ke Delanggu, Jawa Tengah
- ikut dalam Bagian liaison MBT mengatur KTN
- kuliah sambilan di PTK Klaten
- dalam Perang Kemerdekaan II, melakukan long march ke Jawa Barat
dengan Brigade Kusno Utomo
- Kepala Staf Brigade di Komando Pasukan Pos Banjaran
* 1949 : - membantu Kolonel Mokoginta dlm usaha menjebol Negara Indonesia Timur (NIT)
dalam Komisi Tinggi Militer APRIS di Indonesia Timur
Nama : Letkol. Arie Willy Supit
TTL : Telukbetung, 13 Juli 1923
TTM : 1986
* 1945 : - dalam kelompok mahasiswa penjaga & hadir pada detik² Proklamasi RI
- sebagai Pengawal Bung Karno dalam Rapat Raksasa di Lapangan
- anggota kelompok mahasiswa yang dikirim ke Solo & Madiun konsolidasi
kembali pasukan PETA
- anggota penghubung di kantor Cilacap
- Komandan Kompi-11 Polisi Tentara di Resimen Singgih-Tangerang
* 1946 : - Komandan Kompi II Brigade Suryakencana
- dalam Perang Kemerdekaan I, bergerilya di sekitar Sukabumi-Cianjur-Bogor
* 1948 : - hijrah dengan pasukan Divisi Siliwangi ke Delanggu, Jawa Tengah
- ikut dalam Bagian liaison MBT mengatur KTN
- kuliah sambilan di PTK Klaten
- dalam Perang Kemerdekaan II, melakukan long march ke Jawa Barat
dengan Brigade Kusno Utomo
- Kepala Staf Brigade di Komando Pasukan Pos Banjaran
* 1949 : - membantu Kolonel Mokoginta dlm usaha menjebol Negara Indonesia Timur (NIT)
dalam Komisi Tinggi Militer APRIS di Indonesia Timur
Mayor Hein Victor Worang
Nama : Mayjen TNI Purn Hein Victor Worang (Kembi)
TTL : Tontalete – Tonsea, 12 Maret 1919
TTM : Jakarta, 1981
Tahun 1945 Kembi Worang menjadi kepala pasukan dalam Pemuda Republik Indonesia Sulawesi (PRI-SAI). Bulan Oktober 1945 PRI Barisan Istimewa dibentuk dengan pemimpinnya H.V. Worang, Joop Warouw, D. Somba, Utu’ Lalu yang berkekuatan satu peleton senjata lengkap. Pasukan Kembi bertempur di Jawa Timur melawan Inggris dan NICA Belanda. Tahun 1949 ia memimpin batalyon sendiri yang bernama Batalyon Worang dengan pangkat Mayor. Bulan Mei 1950 membantu Batalyon 3 Mei mencegah Sulawesi Utara bergabung dengan NIT dan pengaruh NICA.
Bulan September 1950 ia dan pasukannya berangkat ke Ambon untuk menumpas gerakan Republik Maluku Selatan.
Tahun 1953-1954 membersihkan gerakan tentara Darul Islam DI/TII Sulawesi Selatan.
Frans S. Mendur
Nama : Frans Sumartho Mendur
TTL : Manado, 16 April 1913
TTM : Jakarta, 24 April 1971
Sejak usia remaja, adik dari Alex Mendur ini sudah berlayar ke pulau Jawa jadi anggota Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pimpinan Dr. Sutomo di Surabaya. Mendoer sudah jadi wartawan foto sejak 1935. Mula-mula dia belajar pada kakak kandungnya sendiri Alex Mendoer yang kala itu menjadi wartawan foto Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Di samping di Wereldnieuws, sebuah mingguan berbahasa Belanda yang dicetak di percetakan de Unie di Jakarta. Tahun 1945 menjadi anggota pemuda Asia Raya jaman pendudukan Jepang di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang, dia pula bersama BM Diah yang memelopori perebutan percetakan de Unie. Tanggal 17 Agustus 1945 hadir di jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta dan berhasil membuat foto detik-detik pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Ternyata foto itu adalah satu-satunya foto yang selamat tidak disita oleh pihak Jepang karena disembunyikan di atap rumah. Tahun 1946-1949 menjadi Ketua Badan Perjuangan KRIS ikut bergerilya bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan membuat serangkaian foto dokumentasi. Tahun 1953 menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) angkatan pertama ketika organisasi itu didirikan di Yogyakarta.
Nama : Mayjen TNI Purn Hein Victor Worang (Kembi)
TTL : Tontalete – Tonsea, 12 Maret 1919
TTM : Jakarta, 1981
Tahun 1945 Kembi Worang menjadi kepala pasukan dalam Pemuda Republik Indonesia Sulawesi (PRI-SAI). Bulan Oktober 1945 PRI Barisan Istimewa dibentuk dengan pemimpinnya H.V. Worang, Joop Warouw, D. Somba, Utu’ Lalu yang berkekuatan satu peleton senjata lengkap. Pasukan Kembi bertempur di Jawa Timur melawan Inggris dan NICA Belanda. Tahun 1949 ia memimpin batalyon sendiri yang bernama Batalyon Worang dengan pangkat Mayor. Bulan Mei 1950 membantu Batalyon 3 Mei mencegah Sulawesi Utara bergabung dengan NIT dan pengaruh NICA.
Bulan September 1950 ia dan pasukannya berangkat ke Ambon untuk menumpas gerakan Republik Maluku Selatan.
Tahun 1953-1954 membersihkan gerakan tentara Darul Islam DI/TII Sulawesi Selatan.
Frans S. Mendur
Nama : Frans Sumartho Mendur
TTL : Manado, 16 April 1913
TTM : Jakarta, 24 April 1971
Sejak usia remaja, adik dari Alex Mendur ini sudah berlayar ke pulau Jawa jadi anggota Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pimpinan Dr. Sutomo di Surabaya. Mendoer sudah jadi wartawan foto sejak 1935. Mula-mula dia belajar pada kakak kandungnya sendiri Alex Mendoer yang kala itu menjadi wartawan foto Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Di samping di Wereldnieuws, sebuah mingguan berbahasa Belanda yang dicetak di percetakan de Unie di Jakarta. Tahun 1945 menjadi anggota pemuda Asia Raya jaman pendudukan Jepang di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang, dia pula bersama BM Diah yang memelopori perebutan percetakan de Unie. Tanggal 17 Agustus 1945 hadir di jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta dan berhasil membuat foto detik-detik pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Ternyata foto itu adalah satu-satunya foto yang selamat tidak disita oleh pihak Jepang karena disembunyikan di atap rumah. Tahun 1946-1949 menjadi Ketua Badan Perjuangan KRIS ikut bergerilya bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan membuat serangkaian foto dokumentasi. Tahun 1953 menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) angkatan pertama ketika organisasi itu didirikan di Yogyakarta.
Alex Mendur
Nama : Alexius Impurung Mendur (atau Alex)
TTL : Kawangkoan, 7 November 1907
TTM : 1984
Setelah tamat sekolah Volks School jaman Belanda, kemudian tahun 1922 menuju Batavia (sekarang Jakarta). Bekerja di perusahaan Kodak milik orang Jerman menjual alat-alat kamera foto, tahun 1931-1934 menjadi wartawan foto majalah Hindia Belanda De Java Bode. Lalu pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 di Jakarta menjadi wartawan foto kantor beritasebagai Kepala Kantor Berita Domei bersama Adam Malik yang menjadi penulis berita. Pembacaan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur berhasil dipotret oleh Alex Mendur dan adiknya Frans Mendur. Alat kamera mereka kemudian disita pihak Jepang dan dimusnahkan, tapi satu rol film telah mereka simpan dan itulah satu-satunya foto penaikan bendera Merah Putih pada pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta. Tanggal 6 September 1945 bersama Rosihan Anwar sebagai penulis berita, Alex Mendur ikut rombongan presiden Soekarno ke Yogyakarta dan banyak membuat foto-foto perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Nama : Alexius Impurung Mendur (atau Alex)
TTL : Kawangkoan, 7 November 1907
TTM : 1984
Setelah tamat sekolah Volks School jaman Belanda, kemudian tahun 1922 menuju Batavia (sekarang Jakarta). Bekerja di perusahaan Kodak milik orang Jerman menjual alat-alat kamera foto, tahun 1931-1934 menjadi wartawan foto majalah Hindia Belanda De Java Bode. Lalu pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 di Jakarta menjadi wartawan foto kantor beritasebagai Kepala Kantor Berita Domei bersama Adam Malik yang menjadi penulis berita. Pembacaan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur berhasil dipotret oleh Alex Mendur dan adiknya Frans Mendur. Alat kamera mereka kemudian disita pihak Jepang dan dimusnahkan, tapi satu rol film telah mereka simpan dan itulah satu-satunya foto penaikan bendera Merah Putih pada pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta. Tanggal 6 September 1945 bersama Rosihan Anwar sebagai penulis berita, Alex Mendur ikut rombongan presiden Soekarno ke Yogyakarta dan banyak membuat foto-foto perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Frans I. (Nyong) Umbas
Nama : Frans Ferdinand Umbas (alias Nyong Umbas)
TTL : Kawangkoan, 25 Juli 1915
TTM :
Hobi memotretnya ia salurkan dengan cara bergabung dengan Alex dan Frans Mendur dan mendirikan kantor berita foto bernama IPPHOS. Mereka membuat foto-foto perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 9 April 1957) ia diangkat menjadi Menteri Muda Perekonomian
Letkol Ch.Ch. Taulu (Charles Choesoy Taulu)
Nama : Charles Choesoy Taulu
TTL : Kawangkoan, 20 Mei 1909
TTM : 1969
Setelah tamat E.L.S. (SMA) ia masuk ketentaraan Hindia-Belanda / KNIL pada tahun 1920-an. Setelah Jepang kalah perang, ia melanjutkan dinasnya di dalam KNIL pada tanggal 12 Oktober 1945 setelah Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) mengambil alih kekuasaan dari tangan sekutu Australia. Chalie saat itu berpangkat Furir di kesatuan KNIL Kompi VII. Ia lalu mengumpulkan anggota KNIL yang memihak RI untuk menguasai tangsi Teling Manado. Namun rencana itu sempat bocor sehingga sebagian anggota KNIL di tangsi itu ditangkap termasuk Taulu., Selain itu dilakukan pelucutan peluru-peluru dalam markas di Tangsi Teling serta diberlakukannya konsinyasi secara tiba-tiba terhadap Kompi VII.
Karena rencana aksi itu telah bocor kepada pimpinan Tangsi Teling yaitu Kapten Blom serta Komadan Pasukan KNIL di Sulawesi Utara-Tengah dan Maluku Utara Letkol B.P. de Vries, maka pelaksanaan aksi perebutan kekuasaan itu dipercepat menjadi jam 1 tengah malam. Menurut rencana yang sudah ditetapkan, gerakan aksi akan dimulai jam 3 dinihari menjelang pagi 14 Februari 1946. Pada pagi dan siang harinya diadakan perebutan kekuasaan di kamp 8000 tawanan orang Jepang di Wangurer Bitung, lalu di Tomohon, Tondano, dan beberapa kota di Minahasa lainnya.
Kekuasaan orang-orang Merah Putih ini hanya bertahan selama 25 hari dan pada tanggal 11 Maret 1946 Hindia Belanda berkuasa kembali di Minahasa akibat pengkhianatan dan politik adu domba serta jebakan licik Belanda. Ia dan kawan-kawan pimpinan dan pelaku kudeta ditahan di dalam penjara. Tahun 1949 ia dibebaskan dari penjara Cipinang Jakarta dan pada tahun 1951 menjadi Staf Pribadi KSAD dengan pangkat Mayor.
B. W. LapianNama : Bernard Willhelm Lapian
TTL : Kawangkoan, 30 Juni 1892
TTM : Jakarta, 5 April 1977
- Tahun 1945 sebagai anggota Panitia Badan Persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
(BPPKI) di Tondano
- Tahun 1945-1946 sebagai Kepala Distrik Manado
- Tahun 1946 dalam Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 sebagai Kepala Pemerintahan
Sipil Sulawesi Utara yaitu Residen Manado yang meliputi Sulawesi Utara & Tengah.
Pada dini hari tanggal 14 Februari 1946, diadakanlah sebuah kudeta tidak berdarah yang dipelopori oleh anggota KNIL atau Tentara Hindia Belanda dalam Kompi VII di markasnya di Tangsi Teling. Para pemimpin aksi ini sebenarnya telah ditangkap pada tanggal 13 Februari yaitu sehari sebelumya yaitu Fourir Ch. Ch. Taulu, Sersan S.D. Wuisan, Wangko Sumanti, dll. Selain itu dilakukan pelucutan peluru-peluru dalam markas di Tangsi Teling serta diberlakukannya konsinyasi secara tiba-tiba terhadap Kompi VII.
Pada pagi dan siang harinya diadakan perebutan kekuasaan di kamp 8000 tawanan orang Jepang di Wangurer Bitung, lalu di Tomohon, Tondano, dan beberapa kota di Minahasa lainnya.
Setelah Komandan KNIL Letkol B.P. de Vries dan Co-NICA, Coomans de Ruyter menyerah kepada para pelaku kudeta maka pada malam harinya atas prakarsa dari B.W. Lapian sebagai Kepala Distrik Manado yang telah mengetahui terlebih dahulu berita berhasilnya kudeta, diadakanlah konsultasi pertama kalinya antara unsure militer dan sipil dalam sebuah rapat yang diadakan di tempat tinggal sementara dari B.W. Lapian di daerah Singkil, Manado Utara. Rapat ini dipimpin bersama oleh Ch.Ch. Taulu dan B.W. Lapian dan dihadiri oleh tokoh-tokoh sipil dan militer Sulawesi Utara. Juga turut diundang dan hadir dalam rapat itu, beberapa perwira KNIL bangsa Minahasa.
Dalam rapat itu diputuskan untuk mengangkat B.W. Lapian sebagai penjabat Residen sementara waktu dan juga Ch.Ch. Taulu pun meminta kesediaan Kapten J. Kaseger untuk menjabat sebagi Komandan Tentara sementara waktu.
Sesuai dengan keputusan Rapat Komando Militer Sulawesi Utara pada hari sebelumnya, maka pada tanggal 16 Februari 1946 diadakan pertemuan lagi bertempat di Gedung Minahasaraad (Dewan Minahasa) di Manado. Dalam pertemuan ini berhasil dibentuk suatu Dewan Musyawarah Rakyat Sulawesi Utara dengan ketuanya B.W. Lapian. Secara aklamasi dewan tersebut memilih B.W. Lapian sebagai Kepala Pemerintah Sipil Sulawesi Utara yang menggantikan Residen dari Keresidenan Manado .
Sayangnya, kekuasaan orang-orang Merah Putih ini hanya bertahan selama 25 hari dan pada tanggal 11 Maret 1946 Hindia Belanda berkuasa kembali di Minahasa akibat pengkhianatan dan politik adu domba serta jebakan licik Belanda. Mereka menawan tokoh-tokoh dibalik Peristiwa Merah Putih tersebut. B.W. Lapian sendiri ditahan di penjara Glodok Jakarta. Setelah pengakuan kedaulatan, B.W. Lapian dibebaskan kembali dari penjara Glodok tanggal 21 Desember 1950 dan dijemput Arnold Mononutu, Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dua hari kemudian mereka bersama Arnold Mononutu berangkat ke Yogyakarta. Rombongan ini mendapat kesempatan beraudensi menghadap Presiden RIS Ir. Sukarno, dimana B.W. Lapian dan kawan-kawannya telah diperkenalkan sebagai pejuang kemerdekaan di Sulawesi Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar