Inilah hikayat Pulau Lembeh yang diceriterakan oleh tua-tua Malesung.
Adapun
hikayat tua tanah Minahasa ini adalah kisah yang sangat kelam,
terbungkus dengan kabut kegelapan ceritera purbakala, yang dituturkan
secara turun-temurun oleh orang tua kepada anak cucu turun-temurunnya.
Adapun
maka orang penduduk Mahasa pertama itu terdapatlah di hulu dan berdiam
pada sembarang pinggir padang rata di atas daripada Wulur Mahatus
pegunungan itu yaitu menandakan sipat antara tanah Malesung dan Bolaang
Mongondow pada tempat yang disebut Mahawatu namanya.
Maka keluarlah
dua orang dari tempatnya, yang satu tua dan yang lain muda yaitu Karema
dan Lumimuut namanya. Kemudian Karema suruh Lumimuut menengada ke arah
tenggara. Akhirnya hamillah Lumimuut, lalu pada masanya lalu bersalin
seorang anak laki-laki, Toar namanya itu.
Maka anak itu dipiara oleh Karema sampai umurnya bertambah-tambah, pada akhirnya tiada dikenalnya lagi ibunya itu.
Akhirnya
Toar dan Lumimuut ibunya itu menikah, dan mempunyai banyak anak.
Merekapun itu berpindah tempat dan berdiam sebuah tempat bernama Watu
Niutakan.
Adapun anak cucu Toar-Lumimuut itu menjadi tiga kaum besar yang dinamai Se Makarua Siow, Se Makatelu Pitu dan Se Pasiowan Telu.
Kaum Makarua Siow yaitu kaum pengatur segala ibadat dan adat. Merekalah kaum Walian dan Tonaas.
Kaum
Makatelu Pitu yaitu kaum pamarentah Wanua dengan penjaga Tumani.
Merekalah kaum pemerentah, Patu’an atau Paendon Tu’a panggilannya.
Panjaga Wanua dengan Tumani itu Waranei panggilannya dengan kapala
pasukan, Teterusan namanya.
Sedangkan kaum Pasiowan Telu itulah penduduk biasa. Merekalah rakyat biasa, petani, nalayan dan pencahari binatang di hutan.
Menurut
yang empunya cerita itu, mereka berkembang biak sebanyak empat
turun-turunan generasi di Watu Niutakan. Watu Niutakan itulah Pinontakan
sebutan orang sekarang. Maka mereka menyebut bangsanya sendiri,
Malesung namanya.
Adapun tempat mereka berdiam itu sudah penuh sesak adanya. Maka berpencarlah mereka untuk mencahari tempat yang baik baginya.
Maka
keluarlah tiga puluh delapan taranak : kapala kaluarga bersama istri
dan anak-anaknya bersama pengikutnya ke seluruh penjuru Malesung. Adapun
taranak itu pergi dengan dua puluh lima rombongan besar berdiam di
seluruh tanah Malesung, Malesung itulah tanah Minahasa.
Maka
keluarlah rombongan ketujuh, Makaliwe beserta istrinya
Rinuwatan-tinontoan dan empat anaknya itu pergi berdiam di tanah
Mongondow itu.
Maka keluarlah rombongan Rumoyomporong beserta
istrinya Paparayaanporong dan empat anaknya itu pergi ke sebelah timur
tanah Malesung dan berdiam di suatu pulau yang dinamai kemudian Punten
ni Rumoyomporong.
Punten ni Rumoyomporong itulah pulau Lembeh sekarang.
Kemudian
berbantah-bantahan anak cucu Toar-Lumimuut itu. Se Pasiowan Telu itu
yang merasa tidak puas akan peri dan laku kedua kelompok pimpinannya
itu. Maka perbantahan huru-hara itu makin hari makin bertambah-tambah,
timbul daripada kedengkian hati sehingga picalah pemberontakan Se
Pasiowan Telu.
Pemimpin Se Pasiowan Telu yaitu Tonaas Kopero dari
Tompakewa, Tonaas Muntu-untu dari Toun Bulu, Tonaas Mandey dari
Tountewoh memimpin pemberontakan itu. Merekalah pemimpin foso pembagian
tanah Malesung.
Maka diadakanlah foso pembagian atau Pinawetengan
Posan serta Pahawetengan Nuwuh di tempat bernama Tumaratas. Tempat itu
berada di sebelah utara Kuntung i Wailan, pegunungan itu. Itulah gunung
yang dikuasai oleh Opo Soputan beserta istrinya Pariwuhan dengan
sembilan anaknya.
Maka dibagikanlah tanah Malesung di utara
pegunungan Kuntung i Wailan di atas sebuah batu bernama Watu im
Pinawetengan. Di sablah utara gunung Tonderukan letaknya.
Maka bagian
bangsa Tountewoh berkumpullah di bawah perintah Walalangi dan Rogi pada
tempat bernama Niaranan tetapi berpindah pula ke tempat bernama Kembuan
pada masa Wailan Umboh. Akhirnya di situ nama bangsa ini berganti
menjadi Tounsea’. Maka keluarlah taranak-taranak dari Kembuan mendirikan
beberapa tumani baru di tanah pakasaan Tounsea.
Maka keluarlah
taranak tonaas-tonaas Rurugala, Wenas, Roringtudus, Maramis,
Roringwailan, Sigarlaki dan Maidangkai, Runtukahu, Kapongohan dan
Rotulung mendirikan beberapa tumani baru.
Maka taranak tonaas
Kapongohan dan Rotulung mendirikan tumani’ - wanua Kema namanya. Taranak
dari tonaas Rotulung inilah yang memerintah pakasaan Tounsea dengan
nama baharunya Dotulong.
Maka dinamailah pulau itu oleh taranak
pakasaan Tounsea – "Lembeh" namanya. Bermula dari kata Dembet yang
artinya "di seberang air". Pakasaan Toulour pun menyebutnya "Lewet".
Akhirnya
maka pada saat anak-anak bangsa Rumoyomporong itu berdiam di pulau yang
disebut Punten ni Rumoyomporong – Pulau Rumoyomporong atau menurut
bunyi tuturan adalah pulau Lembeh sekarang ini, maka datanglah
bangsa-bangsa orang asing turunannya, berasal dari pihak seberang lautan
Sendangan. Adapun pihak sendangan Malesung itu bernama Ternate.
Merekalah taranak Mogogibun Roti. Dengan persetujuan serta persahabatan
pula dari bangsa Rumoyomporong, mereka pun berdiam di pulau itu. Menurut
yang empunya ceritera, taranak itu mendiami pulau Rumoyomporang pada
abad kedua belas.
Bangsa asaing taranak Mogogibun Roti itupun
mendirikan kerajaan Bolango. Mereka menyebut pulau Lembeh itu dengan
nama lobe. Sebab kata mereka pulau itu "menjorok keluar". Bolango itupun
berasal dari kata "Mobolango", artinya "menyeberang". Karena mereka
menyeberang dari Pulau Batang Dua – Ternate namanya. Tersebutlah seorang
kolano Bolango, Wintu-wintu namanya. Ia mempunyai seorang putera, Sari
Wondo namanya, "sinar matahari" artinya.
Maka inilah kisah Pingkan Mogogunoy dan lakinya Matindas.
Tersebutlah
Pingkan Mogogunoy, tinggal di Luaan Tana Wangko’ yaitu tanah Toun
Wariri. Lakinya berasal dari Rano i tolang. Matindas namanya.
Maka
patung wajah Pingkan Mogogunoy yang dijaga oleh lakinya Matindas jatuh
ke tangan kolano Dodi Mokoagow. Menurut yang empunya ceritera, Dodi
Mokoagow memerintah Mongondow pada tahun 1560 sampai tahun 1600. Jadi
berpuluh-puluh tahun sebelum perang Toumbulu-Sepanyol. Kolano itulah
Punuh Mongondow sebutan mereka.
Akhirnya diketahuilah gadis Pingkan
Mogogunoy pemilik patung itu. Di Luaan Tanah Wangko’ letaknya. Itulah
tanah Walak Toun Wariri. Maka berangkatlah Dodi Mokoagow bersama
penggiringnya untuk bertemu Pingkan Mogogunoy.
Maka pemerintahan
Mogondow itu diserahkan kepada Punu Mokodompit. Menurut yang empunya
ceritera, Punuh Mokodompit kahwin dengan Wawu’ Mongiade dari Pulau
Lembeh. Punuh sebelumnya juga kahwin dengan Wawu’ Ganting-ganting dari
Mandolang. Tempat mereka memerintah ada di pinggir kuala Rano i Apo.
Buyungon nama tempat itu, di tanah Toun Kimbut. Itulah tanah Tompakewa.
Maka
larilah Pingkan Mogogunoy dan lakinya Matindas ke Walak Tounsea. Di
Ma’adon tempatnya. Dekat wanua Kema. Maka, kolano Mokoagow pun mengejar
jugalah mereka.
Akhirnya dengan akal Matindas maka tewaslah kolano
Mokoagow di tangan serdadunya. Maka diadakanlah foso Mahapansa untuk
membujuk roh kolano Dodi Mokoagow itu. Hanyalah orang Tounbulu, Toulour
serta Tounsea yang mengikutinya. Cuma Tountemboan saja yang tidak
mengikutinya. Mereka hanya menjadi tamu pelengkap foso karena tidak ikut
terlibat dalam tewasnya kolano Mongondow itu.
Maka bangkitlah amarah
bangsa Mongondow berperang dengan bangsa Malesung. Mereka memerangi
semua keluarga anak cucu Toar-Lumimuut. Tiada tersisa. Apabila
diketemukan anak cucu Toar-Lumimuut maka diperangilah mereka.
Maka
datanglah tiga orang serdadu penggiring kolano Dodi Mokoagow ke Pulau
Lembeh menceriterakan kematian punuh mereka. Maka kata Wintu-wintu,
kepala bangsa Bolango itu, "Kalau demikian perbuatan orang Tounsea ini,
esok hari juga kita pergi memerangi bangsa Rumoyongporong, sebab mereka
itu juga bangsa Malesung.
Tersebutlah nama Mowoho, tonaas turunan
Rumoyongporong itu. Didengarnyalah bunyi burung manguni. Beritanya
buruk. Akan terjadi suatu celaka besar artinya. Maka berjaga-jagalah
mereka supaya tidak menderita suatu celaka.
Maka persekutuan antara
bangsa Rumoyomporong – yaitu bangsa taranak Toar-Lumimuut dengan bangsa
asing Bolango itu, bubar karena bangsa asing itu adalah orang-orang
perompak dan memerangi bangsa Malesung itu. Perbantahan huru-hara besar
itu terjadi di atas pulau, sehingga banyak penduduknya pergi ke tempat
lain dan menyeberanglah mereka kembali ke tanah besar. Itulah tanah
Malesung.
Maka larilah Wintu-wintu bersama dengan bangsanya dan orang
lainnya berperahu menuju ka fihak utara itu, serta singgahlah mereka
itu pada beberapa tempat pesisir pulau-pulau Bangka, Talisei dan
lain-lain. Karena mereka berperang di setiap tempat singgahnya, maka
diusirlah bangsa itu oleh orang-orang di pulau-pulau itu. Sehingga pada
akhirnya bangsa itupun berdiam di pinggir sungai besar Lombagian di
tanah Mongondow di totabuan Molibagu namanya.
Maka wanua Kema
menguasai pantai timur dan utara Malesung. Pulau Lembeh juga mereka
kuasai. Taranak Rotulung atau Dotulong namanya, memerintah di wanua
Kema. Dan Kema itulah pusat dari Pakasaan Tounsea’.
Maka wanua Kema,
walau telah berkali-kali diserang oleh perompak-perompak, misalnya pada
tahun 1677 dibakar oleh mereka, tetapi wanua Kema pun tetap berdiri
tegar di tempatnya mula-mula.
Lapuran dari Tuan Gubernur Maluku di
Ternate. Robertus Padtburgge namanya. Menurut tuturannya, pulau itu
penting sekali dari ada sarang burung. Salimburung itulah nama burung
berharga itu. Burung lelayang kecil itu yang memberikan lauk pauk itu
pendek, kecil dan lebih menggemuk dan berparuh kecil, pipi hitam dengan
suatu warna biru gelap mengkilap dan berekor pendek.
Pada tahun 1680
sampai tahun 1880, belum terdapat tanaman yang berarti di pulau Lembeh,
kecuali sarang burung yang sangat mahal harganya. Delapan puluh pikul
tiap tahun hasilnya. Pada tahun 1765 sampai tahun 1785 maka harga satu
pon ada dua ringgit emas. Sebab itulah penjagaan di sana sangat ketat.
Penjagaan ini dipegang oleh Ukung Um Balak Tonsea. Penjagaan ketat
terhadap pulau Lembeh sejak tahun 1760 telah diserahkan sepenuhnya
kepada Xaverius Dotulong.
Penduduk Tonsea tiada menerima penguasaan
itu. Karena pulau itu milik Walak Tonsea. Pulau ini adalah tempat yang
ditakuti, sebab terkadang menjadi sarang perompak Mangindano, Ternate,
Tidore, kerajaan Utara dan lainnya.
Maka Ukung Tu’a Kema, Runtukahu
namanya, bertanggung jawab atas keamanan di pulau itu. Maka anaknya pula
kemudian menerima tanggung jawab itu. Ukung Tu’a Xaverius Dotulong
namanya.
Maka Tuan Gubernur Maluku mengganti hak kuasa atas
pengambilan sarang burung di pulau Lembeh menjadi hak milik dari walak
Tounsea, khususnya keluarga Ukung Tu’a Xaverius Dotulong. Demikian
keputusan itu telah dibuat dan diberikan di Ternate dalam Castel Oranye
pada tanggal 17 April 1770 oleh Tuan Gubernur Maluku Hermanus Munnik.
Walaupun
telah ada surat bukti penguasaan atas pulau Lembeh tersebut kepada
Ukung Kema Xeverius Dotulong, maka Ukung Walak berjumlah enam walak.
Mereka itulah Ukung Walak Manado, Bantik, Klabat Bawah, Ares, Klabat
Atas dan Likupang.
Maka anak turunan dari Ukung Kema Xaverius
Dotulong ini ada empat orang banyaknya. Merekalah Rumondor yang
diseranikan menjadi Willem Dotulong beristri Wulan Wawolangi, Ukung
Supit Dotulong beristri Ampe Walewangko, Watok Dotulong bersuami
Dendeng, dan Lumolindim Dotulong bersuami Nelwan.
Maka anaknya
Rumondor bernama serani Willem Dotulong menjadi Kepala Walak Tonsea.
Adiknya menjadi Ukung Tu’a Kema, Supit Dotulong namanya.
Maka anak
Rumondor bernama serani Willem Dotulong, berjumlah enam orang. Maka
seorang anaknya bernama Waro’ Welong bernama serani Gerard Willem
Dotulong kawin dengan nona Sonder, Porongkahu Walewangko namanya.
Maka anak Waro’ Welong bernama serani Gerard Willem Dotulong mempunyai enam orang anak banyaknya.
Maka
seorang anaknya bernama Tololiu bernama serani Hermanus Willem Dotulong
menjadi Kepala Walak Sonder. Tololiu itulah anak Welong, cucu Rumondor,
cece Xaverius Dotulong, pemilik pulau Lembeh.
Tololiu bernama serani
Hermanus Willem Dotulong inilah yang memimpin Pasukan Tulungan. Pasukan
Tulungan sebanyak seribu ampat ratus orang banyaknya pergi menolong
serdadu Belanda berperang melawan pemberontakan di Jawa. Pemberontakan
itulah yang bernama Perang Jawa. Kemudian anak buahnya menangkap
Pangeran pemberontak itu tahun 1930 dan mengasingkannya di Tondano.
Demikianlah hikayat pulau Lembeh, tanah milik orang Kema, yaitu tanah dari anak cucu Toar-Lumimuut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar