Kisah Terbentuknya Batalyon 3 Mei
Pengakuan kedaulatan kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia
pada 27 Desember 1949 menggema di berbagai pelosok nusantara. Termasuk
Sulawesi Utara, wilayah paling utara Indonesia.
Kondisi luar Jawa di Indonesia Timur di masa revolusi kemerdekaan
antara 1945-1950 masih terpecah-pecah antara yang pro-integrasi dengan
pro-Belanda. Pihak Belanda berusaha memanfaatkan untuk mengembalikan
kekuasaannya di Indonesia.
Situasi ini merisaukan kalangan perwira TNI asal Indonesia Timur yang
tergabung dalam kesatuan KRU-X (Korps Reserve Umum X). Wadah ini adalah
bagian dari TNI Perjuangan (Bekas Laskar Rakyat) yang terbentuk pada
pertengahan tahun 1948. Kesatuan ini dipimpin Let-Kol A.G. Lembong
dengan wakilnya, Let-Kol J.F. Warouw didampingi Mayor H.N. Sumual,
Letnan Satu Lendy Tumbelaka. Kapten Piet Ngantung, Kapten Eddy Gagola,
Kapten Matulessi, Kapten E.J. Kanter. Kapten J. Mandang dll.
Wadah kekuatan militer ini aktif di masa revolusi fisik di Jawa
berkekuatan 4 batalyon tempur yang masing-masing terdiri dari:
-.Batalyon “A” di Jawa Tengah, dibawah komando Kapten Palar; -.Batalyon
“B” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor H.V. Worang; -.Batalyon “C” di
Jawa Timur dibawah komando Kapten A. Rifai; -.Batalyon “D” di Jawa
Tengah dibawah komando Mayor A. Mattalata.
Wadah KRU-X mengalami re-organisasi menjadi Brigade XVI dan giat
memberangus pemberontakan PKI di Madiun dan juga gigih dalam pertempuran
pada aksi agresi militer kedua pihak Belanda.
Pada bulan Oktober 1948, Brigade XVI menyusun rencana membebaskan
Kalimantan dan Indonesia Timur dari pengaruh Belanda. Let-Kol Lembong
mempersiapkan Komando Groepen. Ia dibantu Kapten Piet Ngantung
mengembangkan integrasi TNI terhadap prajurit eks-KNIL di Sulawesi
Utara. Rencana penyerbuan Sulawesi Utara akan dilakukan dari Filipina
yang pernah menjadi daerah perjuangan Lembong ketika menjadi anggota
pasukan Sekutu melakukan perang gerilya melawan pasukan Jepang masa
perang Pasifik Raya.
Adanya rencana ini hingga kepemimpinan Brigade XVI dari Let-Kol
Lembong di alih-tugaskan kepada Let-Kol Joop Warouw. Namun rencana
keberangkatan pasukan pimpinan Let-Kol Lembong ke Filipina tidak
kesampaian ketika Belanda melakukan agresi militer kedua pada 19
Desember 1948.
Yogyakarta diduduki dan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan Perdana Menteri Sutan Syahrir ditangkap. Aksi militer Belanda
itu juga menangkap Let-Kol Lembong bersama Kapten Leo Kailola. Let-Kol
Lembong bersama beberapa prajurit tewas pada peristiwa penyerbuan APRA
pimpinan Mayor Raymond Westerling di Bandung pada bulan Januari 1950.
Sekalipun aksi militer kedua Belanda sempat mempengaruhi rencana,
tetapi proses integrasi tetap di jalankan oleh perwira-perwira TNI sudah
yang diutus ke Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Pengadaan Komando Groepen Sulawesi Utara TNI dilakukan oleh Piet
Ngantung menggalang kekuatan dibantu pemuda-pemuda setempat, yakni Frans
Wowor, Sam Ogi, Lexi Anes dan Alo Tambuwun.
Suasana Indonesia Bagian Timur
Di Awal Pengakuan Kedaulatan Situasi Indonesia Timur sejak paska
perang Pasifik tidak menentu. Walau di Jakarta tercetus proklamasi
Indonesia merdeka yang terjadi akibat kevakuman pemerintahan setelah
penguasa militer Jepang meletakkan senjata, setelah Kaisar Hirohito
memaklumkan perang sudah berakhir dan menyerah kepada pihak Sekutu.
Menjelang akhir perang Pasifik Raya, sebagian besar dari kawasan
Indonesia Timur yang berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut
Jepang,sudah diduduki pasukan Sekutu SWPA pimpinan Jendral Mac Arthur
sejak awal tahun 1945. Kekalahan bermula sejak kekuatan Angkatan laut
Jepang dilumpuhkan di Pasifik Barat Daya sbulan April 1943.
Pihak Sekutu berhasil membangun poros kekuatan dari Pasifik
Barat-Daya, membangun pangkalan militer di pulau Biak dan pulau Morotai
dan menguasai Laut Maluku Utara hingga Laut Sulawesi. Dari Morotai,
kekuatan sekutu melakukan pemboman terhadap posisi kekuatan Jepang di
Ambon, Manado, Makassar dan Balikpapan diduduki oleh pasukan Australia.
Setelah perang berakhir, pihak Sekutu melakukan proses alih
pemerintahan kepada pihak Belanda yang dikelola NICA (Netherlands
Indiesch Civil Administration) di Indonesia Timur. Lembaga ini di
dirikan oleh Dr. H. van Mook di Merauke, sebagai pemerintah pengasingan
Hindia-Belanda pada masa perang Pasifik.
Ternyata alih pemerintahan kepada pihak NICA berdampak buruk bagi
citra sekutu dari masyarakat Indonesia Timur yang menolak kembalinya
hegemoni Hindia-Belanda. Pergolakan tak terhindar dan melanda
Kalimantan, Sulawesi dan Maluku hingga merepotkan militer Australia yang
dijebak oleh Belanda memusuhi kalangan nasionalis.
Padahal para nasionalis di Indonesia Timur turut membantu pasukan
sekutu memerangi Jepang dalam berbagai aksi bawah tanah di masa
pendudukan militer Jepang. Pembentukan KOMPAS-SUMU Sejak pengakuan
kedaulatan, Brigade XVI di likwidasi dan berbagai personal dimutasi oleh
Kementerian Pertahanan RI yang bermarkas di Yogyakarta.
Ekspedisi ke daerah Seberang (Luar Jawa), di Indonesia Timur pimpinan
Let-Kol. Joop Warouw sebagai komandan Pasukan Komando Sulawesi
Utara-Maluku Utara (KOMPAS SUMU)pada bulan Mei 1950. Sebelumnya,
Kementerian Pertahanan RI mengutus Mayor Ventje Sumual, Mayor Daan
Mogot, Kapten Eddy Gagola dan Kapten Piet Ngantung ke Manado dengan
tugas melakukan proses alih keamanan dari Komando territorial Militer
Belanda kepada TNI dan mengatur para prajurit eks KNIL menjadi TNI di
Sulawesi Utara.
Antara bulan Desember 1949 – April 1950, banyak perwira asal
Indonesia Timur bertugas sebagai unsur APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat) di luar Jawa dan diperbantukan pada KMTIT (Komisi
Militer Territorial Indonesia Timur) pimpinan Let-Kol Ahmad Yunus
Mokoginta dan Ir. Putuhena. Diantara perwira-perwira TNI dari Brigade
XVI terdapat Lettu J. Wowiling, Lettu H. Montolalu, Lettu Lendy R.
Tumbelaka, Kapten Usman Djaffar, Kapten M. Jusuf, Kapten Idrus, Lettu D.
Nanlohy, Mayor Saleh Lahade, Lettu A, Sapada dll. Sedangkan Mayor
Jendral Suhardjo ditugaskan menuju Banjarmasin bersama beberapa perwira
Brigade XVI asal Kalimantan.
Alih militer dari KNIL menjadi TNI disalurkan melalui KMTIT ingin
dibendung oleh Belanda dan berusaha mempengaruhi kalangan bintara KNIL
menentang kedatangan pasukan TNI berintikan Brigade XVI pimpinan Let-Kol
Joop Warouw. Kampanye anti TNI di Indonesia Timur dilakukan Dr. Chris
Soumokil didukung Kolonel Schotborg, Panglima Komando Territorial
militer Belanda Wilayah Timur dan Kalimantan (GOB, Grote Oost en Borneo)
melakukan sebaran anti TNI terhadap tentara KNIL menentang TNI di
Ambon, Makassar dan Manado.Bahkan bermaksud memproklamasikan Negara
Merdeka Indonesia Timur terpisah dari Republik Indonesia dengan
membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dibawah “Plan
Metekohi.”
Kolonel Schotborg menghendaki agar anggota eks-KNIL di APRIS-kan
dalam formasi Batalyon dan Kompi dan sudah terbentuk sebelum kedatangan
pasukan TNI dari Jawa. Dalam usaha ini pihak Belanda mempengaruhi
kalangan prajurit KNIL di Makassar, Manado dan Ambon. Akibat kampanye
anti-TNI hingga timbul berbagai pergolakan daerah di Indonesia. Misalnya
kerusuhan di Ambon di awal Januari 1950, aksi militer oleh
prajurit-prajurit bekas KNIL terutama dari anti Belanda pada bulan April
dan aksi militer pimpinan Kapten Andi Azis dan menyerang markas TNI di
Makassar.
Andi Azis sebelumnya adalah ajudan Wali Negara NIT, Sukowati dan
bersama satu kompi KNIL resmi memasuki TNI pada 30 Maret. Namun sehari
sebelumnya Andi Azis ditemui Dr.Chris Soumokil yang datang dari Manado
dan bersama Kolonel Schotborg mempengaruhinya untuk menentang pendaratan
Batalyon Worang di Makassar pada 5 April. Azis dipengaruhi bila APRIS
terbentuk, tidak perlu kehadiran TNI. Soumokil juga mempengaruhi
kalangan pejabat pemerintahan NIT dan berkampanye “negara Merdeka
Indonesia Timur” di Makassar dukungan Belanda untuk memisahkan Indonesia
dari RIS (Republik Indonesia Serikat) melalui “Plan Metekohi.” Andi
Azis berhasil dipengaruhi Soumokil hingga melakukan aksi militer
menentang TNI.
Pada 5 April pagi pasukan Andi Azis beraksi melakukan penyerbuan
terhadap kediaman perwira-perwira TNI, terutama asrama CPM (dulu
Verlengde Klapper Laan) Makassar dan menangkap Let-Kol A.J. Mokoginta
dan perwira TNI lainnya. Pasukan Andi Azis memblokir Pelabuhan Makassar
untuk membendung pendaratan Batalyon Worang pimpinan Mayor H.V. Worang.
Akibat kemelut di Makassar hingga kapal-kapal “Waikelo” dan “Bontekoe”
yang mengangkut pasukan Batalyon Worang dialihkan ke Balikpapan.
Operasi Pertiwi Untuk mengatasi kemelut Indonesia Timur dari ancaman
separatisme, Menteri Pertahanan RIS, Letnan-Jendral Sultan Hamengku
Buwono IX, atas instruksi Presiden Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi
RIS, mengangkat Kolonel Alex E. Kawilarang setelah bertugas melakukan
integrasi TNI di Sumatera, diangkat menjadi Panglima Komando Tentara
Teritorium Indonesia Timur (KMTIT) pada 15 April 1950.
Kolonel A.E. Kawilarang menerapkan Operasi Pertiwi dengan dukungan
kekuatan: Brigade Garuda Mataram, pimpinan Let-Kol Soeharto (Presiden
RI); Satuan Brawijaya, pimpinan Let-Kol Suprapto Sukawati; Satuan
Siliwangi, pimpinan Let-Kol Kosasih. Kekuatan didukung satuan Brigade
XVI dari: Batalyon Worang, pimpinan Mayor H.V. Worang dan Batalyon
Mattalata pimpinan Mayor Andi Matalatta.
Rencana pendahuluan penyerbuan ke Makassar dilakukan oleh Batalyon
Worang pada 26 April tidak mengalami kesulitan, karena sehari sebelumnya
Andi Azis sudah terbang dengan pesawat Catalina dan ke Jakarta, setelah
sehari sebelumnya menyerah dan pasukannya dilucuti dan di konsinyir di
Makassar. Sebelumnya, pada 24 April malam, Andi Azis menemui Kolonel
Kawilarang dan menyatakan ingin bergabung dengan TNI. Penyerahan diri
Andi Azis berlangsung keesokan harinya kepada Let-Kol Soeharto.
Penyerahan diri Andi Azis hingga pendaratan pasukan Worang di
Makassar tidak mengalami perlawanan. Berlanjut dengan pendaratan pasukan
induk Brigade XVI dari Surabaya beberapa hari kemudian dengan kapal
pendarat LST di Makassar. Dengan kekuatan ini hingga pasukan TNI secara
bertahap menggusur pengaruh KNIL di Makassar.
Setelah berada di Makassar, Let-Kol Joop Warouw diangkat menjadi
Komandan pasukan Sulawesi Utara Maluku Utara (KOMPAS SUMU) dengan tugas
mengambil alih Komando Territorial Belanda (Troepen Commandant Noord
Celebes) oleh Kementerian Pertahanan dari Yogyakarta.
Mayor Suharyo ditunjuk sebagai Kepala Staf atas permintaan khusus
dari Warouw kepada Let-Kol Zulkifli Lubis yang waktu itu menjabat
Komandan organisasi Intel Kementerian Pertahanan. Kesatuan ini
berintikan anggota Brigade XVI yang pernah melakukan perang gerilya di
Gunung Kawi, Jawa Timur menghadapi pasukan SEAC (South East Asia
Command) dibawah komando Inggris ketika melakukan pendaratan di Surabaya
untuk menguasai Jawa.
Diantara para perwira dari brigade ini terdapat antara lain Mayor
Saleh Lahade, Mayor H.V. Worang, Mayor Rifai, Mayor Pieterz, Mayor
Firmansyah, Mayor Mochtar, Mayor Abdullah, Kapten Pattinama, Kapten
Padang, Kapten Tenges, Kapten Arie Supit, Kapten Somba, Kapten Wuisan,
Letnan Lendy Tumbelaka, Letnan Maulwi Saelan, Letnan Andi Odang, Letnan
Yan Ekel dll. Kesatuan KOMPAS SUMU selama berada di Makassar giat
melakukan persiapan militer dalam usaha pendaratan mereka di Manado.
Usaha Belanda Melakukan Garis Pertahanan Makassar-Manado-Ambon Tidak
berlanjutnya aksi pemberontakan Andi Azis mengecewakan Dr.Chris Soumokil
penentang integrasi TNI dan menggunakan pesawat Pembom B-25
meninggalkan Makassar menuju Manado. Soumokil berusaha mempengaruhi
pasukan eks-KNIL di Sulawesi Utara untuk menemui Sersan (KNIL) Mawikere,
pimpinan TWAPRO guna memperoleh dukungan menentang integrasi TNI.
Setiba di lapangan terbang Mapanget (kini bandar udara Sam Ratulangie),
Soumokil tidak turun dan hanya mengirim utusan ke Manado dengan maksud
menemui kelompok Mawikere.
Tetapi kedatangan rombongan dibendung oleh kalangan pemuda, hingga
misi Soumokil gagal dan kembali ke Ambon. Aksi menentang TNI berlanjut
di Ambon ketika Chris Soumokil, Jaksa Tinggi NIT memproklamasikan
Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April dan menyatakan memisahkan
diri dari NIT atau RIS. Cetusan proklamasi RMS di dukung Ir. Manusama,
Han Boen Hiong dan sekitar 2.000 pasukan KNIL termasuk kesatuan komando
Baret Merah dan Baret Biru.
Proklamasi itu menempatkan Ir. Manusama sebagai Presiden RMS dengan
Ambon sebagai pusat pemerintahan RMS. Untuk memperkuat kekuasaan rezim,
pihak RMS menangkap Pupella cs. dari Partai Indonesia Merdeka (PIM) di
Ambon yang pro Republik.
Situasi Manado
Peristiwa Andi Azis sampai pula di Manado dan mendapat perhatian
khusus dari kalangan kubu republik. Sebelumnya di akhir bulan Maret, di
Manado diselenggarakan rapat militer Belanda oleh komandan garnisun di
tangsi militer Reserve Corps KNIL di Wanea, Manado Selatan. Tujuan
pertemuan itu, untuk membendung pendaratan pasukan TNI ke Minahasa.
Sulawesi Utara waktu itu berada dibawah Komando militer KNIL Troepen
Commando Noord Celebes, terdiri dari staf komando, dinas-dinas
perhubungan dan logistik. Komando ini membawahi kurang lebih satu
batalyon infantri, satuan cadangan, Reserve Corps KNIL, dinas radio/
PHB, polisi militer dan satuan logistik. Sebagian besar dari kalangan
prajurit dan bintara adalah turunan Minahasa. Sedangkan perwira-perwira
staf dari komandan batalyon, kompi hinga peleton adalah kulit-turunan
Belanda.
Sedangkan pangkat pri-bumi hanya Prajurit Dua dan paling tinggi
Pembantu Letnan Dua. Pertemuan itu berusaha mematangkan “Rencana
Metekohi”, membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dihadiri
militer Belanda yang khusus di kirim Kolonel Schotborg dari Makassar.
Pertemuan itu berusaha meraih kesepakatan menggagalkan proses alih
keamanan militer dari Komando Teritorial Belanda kepada TNI di Indonesia
Timur.
Rapat itu mengusulkan mengaktifkan kembali prajurit-prajurit
pensiunan KNIL (Papo) dibawah naungan (Reserve Corps KNIL Manado).
Tetapi usulan tersebut di tentang keras oleh kalangan anggota KNIL
pri-bumi yang cenderung berpihak pada RI.
Sebagian besar anti-pati berada dibawah kekuasaan Belanda, yang
dinilai takut berperang. Wibawa perwira Belanda juga turun di kalangan
pasukan pri-bumi karena langsung menyerah pada Jepang tanpa perlawanan.
Banyak dari mereka ini yang berhasil lolos dari penangkapan Jepang,
bergabung dengan Sekutu dan gigih bertempur di Guadalcanal, Filipina dan
perebutan berbagai kota di Indonesia menghadapi Jepang.
Namun sejak Perang Dunia Kedua usai, banyak dari mereka kecewa,
karena harus kembali berada dibawah pimpinan Belanda. Mereka kembali
mendapat perlakuan diskriminatif dari bekas kolonialnya. Bermula dari
komentar Kopral Y Salmon, sekalipun berpangkat rendah dan hanya menjabat
sebagai staf schrijver (juru-tulis bagian personalia KNIL), Salmon
kritis mengemukakan komentarnya. Pada forum itu Yan Salmon dengan
lantang mengatakan: “…Bahwa pada kenyataannya, Kerajaan Belanda telah
mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan ini secara otomatis
menempatkan Minahasa merdeka dan secara otomatis pula masuk kedalam
wilayah Indonesia. Jika kami sebagai prajurit KNIL asal Minahasa melawan
TNI, bukankah itu suatu pengkhianatan?”
Pada bagian lain Salmon mengemukakan: “…Kalaupun terjadi pertempuran
antara kami dengan saudara-saudara kami dari TNI, dan yang terbunuh
terdapat para pensiunan prajurit-prajurit KNIL asal Minahasa yang sudah
tua dan sudah lemah fisik, siapa yang menjamin dan membayar pensiun
keluarga mereka? Terus terang mereka tidak mau mati konyol!”
Komentar Kopral Salmon ternyata mempengaruhi suasana rapat dan semua
yang hadir hening seketika, dan para perwira Belanda sempat terbelalak
dengan pandangan kritis itu. Para pensiunan yang hadir terdiam dan sama
sekali tidak menyanggah pandangan Kopral Salmon. Pandangan dan
pertanyaan Salmon tidak memperoleh jawaban tegas dari perwira-perwira
Belanda hingga menimbulkan antipati hadirin.
Pada pertemuan itu, para perwira Belanda gagal menguasai keadaan dan
tidak berhasil menggolkan konsep mengaktifkan kembali para pensiunan
KNIL di Sulawesi Utara. Padahal waktu itu Dr. Soumokil juga di utus
markas militer Belanda di Makassar menghadiri pertemuan itu di Manado.
Namun bekas Jaksa Tinggi NIT yang memvonis mati pemuda Kawanua, Wolter
Monginsidi (pahlawan Nasional) di Makassar (di hukum mati pada 5
September 1949). Setelah utusan militer Belanda gagal melakukan misi
mewujudkan rencana Metekohi di Manado, Soumokil bersama para perwira
Belanda terbang menuju Makassar untuk menghasut Andi Azis memberontak.
Kudeta di Minahasa Raad Pada pertengahan April terjadi perdebatan
sengit di Dewan Minahasa (waktu itu Minahasa Raad), Manado. Sebelumnya
lembaga legislatif dikuasai kelompok TWAPRO (Twaalfde provintie)
pimpinan Mawikere yang pro-Belanda. Namun pengaruh TWAPRO menurun tajam
terutama di kalangan bekas prajurit-prajurit KNIL yang pernah bertempur
baik di front peperangan Pasifik dibawah naungan AS, maupun di
Asia-Tenggara dibawah komando Inggris.
Tetapi setelah kembali dari peperangan, mereka kembali harus berada
dibawah komando Belanda. Mereka juga kecewa, karena tiada jaminan
keselamatan dan keamanan yang dilakukan pihak militer Belanda terhadap
keluarga mereka yang ditinggalkan di Jawa. Banyak dari keluarga mereka
di-bantai oleh pemuda-pemuda radikal ekstrimis dengan tuduhan sebagai
“anjing NICA.”
Mereka ini disiksa tanpa perlawanan seperti aksi pembantaian yang
terjadi di Salatiga. Pembantaian ini dapat dihentikan oleh Laskar KRIS.
Dampak aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu cs. telah
menimbulkan ketidak senangan kalangan bekas prajurit eks-KNIL asal
Sulawesi Utara karena menjadi korban diskriminasi kolonialisme Belanda.
Di awal pasca perang dunia kedua, situasi politik di Sulawesi Utara
terpecah-pecah oleh berbagai kelompok baik yang pro maupun anti-republik
seperti dari barisan Republik, Unitaris, Federalis, Hoofden Bond,
Twapro (Twaalfde Provintie) dll. Kelompok Twapro yang menguasai Dewan
Minahasa menghadapi aksi barisan oposisi, GIM (Gerakan Indonesia
Merdeka) dengan pemukanya, Uttu J.A Maengkom (mantan Menteri Kehakiman
RI), dan didukung kalangan pemuda pro-Republik terutama dari Tomohon,
Langowan dan Tondano.
Kegagalan utusan Kolonel Schotborg melakukan kampanye anti-TNI pada
pertemuan Wanea ternyata mempengaruhi posisi TWAPRO di Minahasa Raad
(Dewan Minahasa). Pada sidang Dewan Minahasa di Manado, pihak TWAPRO
berusaha meraih dukungan rencana Metekohi. Tetapi mendapat reaksi hebat
barisan oposisi melalui perdebatan seru. Dari perdebatan ini terjadi
keraguan dari kelompok pro Belanda ketika pihak oposisi mengingatkan
bakal terjadi perang saudara dan Manado dilanda banjir darah.
Lagi pula masyarakat di Sulawesi Utara jenuh dengan peperangan dan
tidak ingin mengulangi penderitaan yang dan pernah di alami pada masa
pendudukan Jepang. Para orang-tua juga tidak ingin lagi mengorbankan
putera-putera mereka digunakan untuk bertarung dalam berbagai
pertempuran baik untuk Sekutu maupun oleh Jepang.
Argumentasi kalangan republik terhadap ancaman perang saudara, karena
yang di hadapi adalah barisan pemuda dukungan Angkatan Muda KNIL
terutama dari Morotai penentang Belanda. Situasi ini menguntungkan
barisan pro Republik dan berhasil melakukan aksi “Kudeta” di Dewan
Minahasa. Awal Gerakan 3 Mei Di Manado pada Selasa 25 April 1950, jam
20.00 malam, rumah Sersan (KNIL) Fred Bolang (Brig-Jen Purn. TNI AD)
ditemui Laurens Saerang, Lexi Anes dan Frans Wowor dari kelompok Front
Laskar Pemuda (FLP) yang mengenakan jaket Merah Putih. Pada pertemuan
itu Bolang di ajak bergabung dengan Republik memimpin operasi militer
bersama pemuda melakukan kudeta terhadap Belanda. Bolang dipilih karena
pengalamannya sebagai militer profesional.
Prestasi militer Bolang dikenal sebagai pasukan khusus Sekutu dibawah
komando Mayor Tom Harrisson dari Inggris ketika memimpin perang gerilya
melawan tentara Jepang di pedalaman Kalimantan. Sekembalinya di
Minahasa, Bolang sering dikenal vokal terhadap penguasa Belanda.
Sekalipun Bolang tidak terlibat pada Gerakan 14 Februari 1946, tetapi ia
dicurigai militer Belanda di Manado. Jebolan bintara KNIL Angkatan 1939
di Gombong disegani karena prestasinya dan berperang sebagai prajurit
profesional hingga Fred Bolang menyandang berbagai penghargaan militer
dari Sekutu. Antara lain, “British Empire Medal,” dari Inggris, oleh
Laksamana Mountbatten, “Pacific Medal,” dari Panglima Sekutu, Jendral
Mac Arthur, bintang militer “Ridderlijke Orde” dari Belanda oleh Letnan
Jendral Spoor, Panglima militer Belanda di Indonesia karena prestasi
militer masa perang dunia kedua.
Dari prestasinya itu hingga Bolang luput dari penangkapan. Tidak
berlanjutnya Gerakan Peristiwa Bendera Merah Putih 1946 dan penangkapan
para pelaku di kirim ke Jawa, hingga Manado diawasi ketat oleh pasukan
komando Baret Merah dan Hijau Belanda. Tetapi kehadiran Belanda di
Manado tidak mengatasi keadaan karena sering dihadapi oleh serbuan
sporadis terutama dari kelompok pemuda Tondano, Langowan dan Tomohon
pimpinan Pratu (KNIL) Laurens Saerang, mantan Angkatan Muda KNIL dari
Morotai. Termasuk penyerbuan pada 14 April ketika kelompok pemuda ini
berusaha melucuti markas militer di Teling.
Sebelumnya di awal bulan April sekelompok kecil pasukan KNIL pimpinan
Sersan Tuturoong melakukan aksi membongkar gudang senjata dari markas
militer Teling. Bersama dengan senjata-senjata yang di peroleh, mereka
menuju ke Tomohon dan membagikan kepada para pemuda pro Republik untuk
menyerbu Manado. Penyerbuan di markas militer KNIL Teling gagal karena
diketahui dinas rahasia NEFIS, dan dipatahkan oleh KNIL pimpinan Mayor
Nues bersama korps komando Baret Merah pimpinan Letnan Antoinette dan
Baret Hijau pimpinan Letnan Hetaria.
Namun semangat juang pemuda mengusir Belanda dari Minahasa tidak
padam. Mereka didukung perwira-perwira TNI, Sumual, Gagola, Ngantung
dll. yang melakukan misi rahasia kampanye integrasi bekas prajurit KNIL
memasuki TNI dan menggalang aksi kekuatan menentang Belanda. Penempatan
sejumlah perwira asal Minahasa seperti A.E.Kawilarang, Joop Warouw,
Evert Langkey, dll. dalam jabatan teras TNI mempengaruhi para bintara
KNIL seperti Sersan Fourier Alex Mengko, Sersan Fred Bolang, Sersan
Phillip Tumonggor, Sersan Jootje Angkau, Kopral Tuturoong dll. beralih
berhaluan Republik.
Termasuk di kalangan anggota Baret Merah dan Baret Hijau Belanda asal
Sulawesi Utara. Untuk mempertebal rasa kesatuan dan kebangsaan,
prajurit-prajurit bekas KNIL sering mengikuti berbagai pertemuan dengan
kalangan Republik dan mendengar pandangan nasionalisme. seperti Karel
Supit, guru perguruan Bhakti KRIS di Kawangkoan. Juga mengikuti berbagai
rapat gerakan rahasia dikantor surat kabar “Pikiran Rakyat” pimpinan
Wolter Saerang dan Hermanus. Dari pertemuan malam hari dirumah Bolang,
ajakan Front Laskar Pemuda (FLP) disetujui Fred Bolang.
Pertemuan dilanjutkan dengan rencana mengatur operasi penyerbuan di
markas Batalyon Infantri XVIII (KNIL) di Teling. Menurut rencana, Bolang
bersama pasukannya akan bergabung dengan para pemuda dan kalangan
bintara KNIL lainnya dan menetapkan hari H yang penuh rahasia. Hari H
ditetapkan hari Selasa, 2 Mei jam 23.00 dimulai dengan penyerbuan markas
militer Teling yang terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok I (semuanya bertempat tinggal di Asrama Teling) pada jam
23.00 melucuti semua senjata tentara KNIL di asrama dan membuka gudang
senjata dan amunisi. Kelompok II tepat jam 23.00 akan menyerbu asrama
Teling menerima senjata dan membantu dari kemungkinan perlawanan. Semua
kendaraan disiapkan di daerah Titiwungen oleh para pemuda yang akan
mengangkut pasukan menuju Tomohon untuk menyusun kubu pertahanan di
Tomohon dari kemungkinan perlawanan dari detasemen-detasemen KNIL dari
luar kota Manado. Pada 2 Mei jam 21.00 malam, Sersan Bolang dengan
seragam militer bersenjata lengkap berada didepan barak Teling Hitam.
Menurut rencana, Bolang akan mengumpulkan dan memimpin satu peleton
pasukan KNIL didampingi Kopral Tuturoong. Malam itu Bolang sedang
berjalan sendiri menuju markas militer Teling. Tiba-tiba saja sebuah jip
yang tidak terdengar derumannya berhenti disebelahnya. Sang pengemudi,
ternyata seorang Kapten Belanda, yang juga Komandan Kompi menyapa
singkat: “Stap in, Sergeant Bolang!” (Naik, Sersan). Bolang sempat
terkejut, namun agar tidak dicurigai, ia ikut perintah dan naik jip yang
ternyata tidak menuju ke markas Teling. Ketika meliwati Sario, Bolang
mengira gerakan sudah bocor dan bakal ditahan di Markas CPM. Ternyata
jip melaju terus menuju markas Troepen Commandant.
Setiba di markas besar territorial, Bolang melihat semua perwira staf
sedang berkumpul karena di konsinyir. Sambil berjalan ia dimaki
beberapa rekan bintara (pro-Belanda): “Pengkhianat.” Bolang sempat naik
pitam dan mencabut pangkat dan dilempar pada mereka. Tetapi Kapten yang
mendampingi, memungut tanda pangkat sambil berkata: “Pangkat ini
diberikan Kerajaan Belanda.” Sang Kapten menenangkan suasana sambil
memasang kembali tanda pangkat pada kedua pundak Bolang, dan dipapah
keruangan komandan menemui Mayor Nues.
Pada saat pertemuan, terdengar letusan peluru dari arah Timur. Nues
angkat telepon dan bertanya pada pos peninjau mengenai suara letusan
(ternyata tembakan peluru dilepaskan Kopral Tuturoong, anak buah
Bolang). Setelah menutup gagang telepon, Nues langsung bertanya kepada
Bolang: “Kenapa bisa terjadi begini?” Tetapi Bolang diam dan hanya
memperhatikan Nues yang bersungut sendiri. Percakapan terganggu ketika
tiba-tiba pintu dibuka oleh Kapten dan terlihat Sersan Angkau masuk dan
duduk disebelah Bolang.
Kepada Angkau, ia bertanya berbisik: “Kenapa kau kemari?” Angkau
diam, tetapi tak berapa lama ia menjerit-jerit sambil menggigil
kedinginan seolah sakit. Kepada Kapten, Mayor Nues bertanya: “Zeg
Kapitein, wat scheelt hij, is hij ziek? Breng hem terug (Kenapa dia
Kapten, apa dia sakit? Bawa dia kembali ke asrama Teling). Ternyata
Angkow bersandiwara hingga tidak ditanya oleh Nues. Pada jam 00.45
kembali terdengar suara berondongan tembakan dari Bren-gun menggema
dikegelapan malam dari arah Barat.
Mayor Nues angkat telepon meminta laporan Pos Peninjau. Setelah
mendapat laporan (ternyata juga dilepaskan oleh Kopral Tuturoong).
Sambil meletak gagang telepon mengarahkan matanya pada Bolang dan
berkata: “Sersan Bolang, kalau begini akan sulit. Nanti, bisa-bisa kita
saling baku tembak.” Nues menjelaskan bahwa pihaknya bermaksud akan
melakukan promosi kenaikan pangkat perwira dan jabatan kepada para
prajurit pri-bumi, hingga semua perwira staf di kumpulkan pada malam
itu.
“Saya akan membentuk satu batalyon APRIS dan Komandan Batalyon adalah
Onder Luitenant Purukan dan Kepala Staf, Adjudanct Sembel. Purukan
berpangkat Mayor dan Sembel menjadi Kapten” ujar Nues. “Sedangkan anda
berada dalam formasi sebagai komandan Kompi IV berpangkat Kapten. Apakah
anda sudah tahu?” sapa Nues kepada Bolang. Sambil geleng kepala Bolang
menjawab singkat: “Belum tahu Mayor.” Nues melanjut: “Begini saja, saya
percaya kau dapat atasi ini. Kamu kembali ke Teling dan kumpulkan semua
anak buah dan bawa mereka kemari dan besok saya akan bicara, OK?”
Percakapan berakhir ketika Nues berdiri dan kemudian memanggil Kapten
yang berada di luar. Ia kemudian memerintahkan: “Kapten …, dan
kembalikan Sersan Bolang ke Teling.” Bolang lega, karena rencana
penyerbuan ke markas Belanda tidak bocor.
Membelot ke Republik
Setibanya di tangsi militer, Sersan Bolang segera mengumpulkan
prajurit di muka rumah jaga. Setelah terkumpul 78 prajurit, iapun
memimpin sebagai komandan barisan memberi aba-aba militer. Jumlah dibagi
dalam tiga peleton, masing-masing terdiri dari Peleton I langsung
dibawah pimpinannya, Peleton II dipimpin Sersan Angkow dan Peleton III
pimpinan Sersan Mengko.
Setelah pasukan disiagakan, Sersan Fred Bolang melapor kepada Kapten
dan mengatakan pasukan sudah siap menjalankan tugas agar esok hari
memperoleh wejangan Mayor Nues di Teling Hitam. Sang Kapten menanya kode
(pengenalan pasukan). Bolang segera jawab: “9 – 0.” Kapten menyambut:
“OK.” Bolang memberi aba-aba: “Pasang Sangkur.” Berlanjut dengan suara:
“Voorwaarts… Mars!!!” (Majuud Jalan!!!).
Pasukan mulai bergerak keluar tangsi militer Teling. Saat keluar di
pintu gerbang, Sersan Bolang dikejuti bentakan kasar Letnan Antoinette,
komandan pasukan Baret Merah diikuti bawahannya: “…Hei kemana kamu?.”
Sambil berlari kecil mengikuti gerak langkah pasukan, Bolang membentak
balik: “Hou je beck (tutup bacotmu), ini perintah Mayor Nues (troepen
Commandant).” Setelah keluar asrama Teling, pasukan langsung diarahkan
menuju Titiwungen, tempat yang direncanakan Front Laskar Pemuda (FLP).
Mulanya para pemuda panik karena mengira rencana sudah bocor dan mereka
akan dibantai hingga lari tunggang langgang mencari tempat sembunyi.
Bolang mengerahkan satu regu untuk mencari mereka. Setelah melihat
Fred Bolang, kemudian Laurens Saerang, Wolter Saerang, Lexy Annes, dll.
keluar dari persembunyian dengan rasa haru. Bolang bertanya:
“Saudara-saudara, kita sudah siap. Siapa yang akan memimpin operasi
ini?” Diantara mereka menjawab: “Atas nama Pemuda, kepemimpinan operasi
kami serahkan kepada saudara Fred Bolang” (Pangkat sudah tidak berlaku
dan semua pasukan mencopot pangkat dan menjadi pemuda pejuang bersama
Laskar Front Pemuda).
Kronologi Gerakan 3 Mei
Semua Pasukan naik truk-truk yang disiapkan Lexy Gozal dan
kawan-kawan menuju Tomohon. Konvoi bergerak melakukan berbagai manouver
seputar kota Manado agar terhindar dari pencegatan. Kemudian keluar kota
melalui Airmadidi, Tenggari dan Tondano. Tiba di Tomohon pukul 03.00
subuh dan disambut oleh RCL Lasut, Hukum Besar Tomohon/Tombariri.
Pasukan disiagakan menunggu kabar dari Manado diatur oleh Laurens
Saerang, Sam Ogi dan kawan-kawan membentuk jaringan intelejen.
Pada jam 04.00 terdengar berita Belanda memindahkan senjata-senjata
berat dari gudang amunisi Teling. Pada waktu bersamaan, Mayor Sumual dan
Kapten Piet Ngantung bergerak menuju Tomohon untuk bergabung. Misi ini
dirahasiakan, karena bila ditangkap, kesemua operasi akan gagal dan
menjadi sia-sia. Setelah memperoleh laporan dari jaringan intel pemuda
mengenai situasi Manado yang sepi dari pertahanan KNIL, Bolang memimpin
satu kompi bersenjata lengkap menyerbu Manado pada jam 05.15.
Sasaran utama menyerbu semua markas KNIL dan merebut senjata. Setiba
di Manado, formasi kekuatan di bagi dan dua peleton bertugas mengepung
markas Komando/ Staf Kwartier dan satu peleton menutup simpang tiga
Tanjung Batu, Sario dan Jln. Sam Ratulangie. Aksi kudeta militer kedua
(setelah peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 berjalan mulus dan serba
gerak cepat.
Pada Jam 10.00, Fred Bolang bersama Laurens Saerang memimpin
penyerbuan markas komando dan melucuti pasukan termasuk Mayor Nues yang
menyerah tanpa syarat. Semua pasukan KNIL di markas militer mengikuti
perintah pihak penyerbu dan masing-masing Dan-Yon yang didekap menjadi
sandera memerintahkan anak-buah mereka untuk tidak melawan dan
meletakkan senjata. Setelah penyerbuan singkat, seluruh pasukan penyerbu
meninggalkan basis pertahanan mereka dari Tomohon menuju Manado dan
menempati markas militer di Teling.
Setelah menguasai keadaan, dilanjutkan dengan upacara singkat dengan
pernyataan penyerahan alih kekuasaan militer dan pemerintahan sipil dari
Mayor Nues kepada para pemuda atas nama pemerintahan Republik
Indonesia. Para perwira, bintara berikut keluarga Belanda dikenakan
tahanan rumah. Keamanan dan logistik tahanan di jamin dan diperlakukan
dengan baik. Tetapi dilarang memasang bendera Belanda untuk mencegah
kemarahan pemuda. Sedangkan prajurit KNIL yang tidak bergabung dengan
LFP disuruh kembali kerumah masing-masing dan diperkenankan membawa
barang-barang pribadi milik mereka. Setelah penyerahan alih kekuasaan,
dilanjutkan dengan penurunan bendera Merah Putih biru berganti dengan
pengibaran sang saka Merah Putih dipimpin Laurens Saerang.
Pada jam 14.00, Manado dikuasai sepenuhnya oleh barisan Republik, dan
bendera merah putih berkibar di berbagai pelosok kota Manado. Simpang
Siur Aksi militer di Manado dan kekalahan Belanda dipantau oleh Panglima
GOB, Kolonel Schotborg di Makassar yang langsung terbang ke Manado
keesokan harinya. Menjelang pendaratan, Schotborg melakukan kontak radio
dengan “pemberontak” dan minta izin mendarat di lapangan Mapanget untuk
menemui troepen-commandant, Mayor Nues. Walau mendapat izin dari
pimpinan pemuda LFP, tetapi ketika pesawat pembom B-25 mendarat,
Schotborg melihat banyak prajurit berada di lapangan. Iapun tidak ingin
mengambil risiko untuk turun hingga pesawat terbang langsung lepas
landas dan mengudara meninggalkan Mapanget kembali ke Makassar.
Berita peristiwa 3 Mei di Manado cepat menyulut di Makassar, dan
Kolonel Kawilarang mulanya mendapat laporan sepihak dan seolah Manado
dilanda aksi pemberontakan terhadap TNI mirip aksi Andi Azis. Dari
kalangan perwira Belanda dilaporkan bahwa aksi militer dipimpin oleh
Sersan Fred Bolang yang katanya dikenal sangat radikal melakukan “Aksi
Pemberontakan” di Manado.
Laporan ini sempat mempengaruhi markas besar KMTIT di Makassar,
seolah aksi tersebut berpihak kepada Belanda. Kolonel Kawilarang
memerintahkan Batalyon Worang dan Batalyon Mudjain berangkat ke Manado
untuk menumpas “pemberontakan 3 Mei.” Aksi militer 3 Mei di Manado juga
menggemparkan kalangan perwira Belanda di Jakarta.
Kepala staf Belanda, Mayor Jendral Pareira terbang ke Makassar
menemui Kolonel Kawilarang. Mereka mendesak agar pasukan KNIL yang akan
di APRIS-kan, sebaiknya tetap menjadi KNIL. Biar mereka mengatur dan
memilih siapa-siapa saja yang memenuhi syarat menjadi APRIS. Alasan
Pareira: “Jika berontak cara begini akan mengacaukan administrasi.”
Tetapi Kawilarang dengan tegas menolak desakan Pareira dengan jawaban:
“Itu urusan kami, dan kami yang me-reorganisasi mereka.” Hal ini sesuai
keputusan KMB di Den Haag yang sepakat membubarkan KNIL setelah
pengakuan kedaulatan Belanda pada RI.(KNIL dibentuk 10 Maret 1832 dan
bubar 26 Juli 1950).
Untuk mengetahui situasi kota Manado, Let-Kol Warouw sebagai komandan
KOMPAS SUMU menyertakan Mayor Jendral Peraira menggunakan pesawat KNILM
(Koninklijk Nederlands Indiesch Luchtvaart Maatschappij) menuju Manado.
Sebelumnya, berita kedatangan Let-Kol Warouw bersama rombongan sudah
diketahui diterima oleh pimpinan Laskar Front Pemuda, Karel Supit dan
Alex Mengko. Pihak LFP memberi instruksi kepada para anggota untuk
menyambut rombongan dari Makassar yang tiba di lapangan terbang Mapanget
dengan upacara militer.
Rombongan Warouw dari Makassar sempat terkejut karena laporan di
Makassar lain dengan kenyataan sebenarnya. Rombongan disambut dengan
upacara kebesaran militer sebagaimana lazimnya penyambutan kepada
tamu-tamu yang dihormati. Sambutan “Show of Force” dan pasukan berbaris
rapih dan di inspeksi Overste Warouw. Sedangkan Mayor Jendral Pareira
hanya menyaksikan dari pesawat karena LFP tidak memperkenankan turun
selama upacara berlangsung. Pareira juga dilarang masuk kota Manado
menemui Komandan Batalyon KNIL yang ditahan di Sario.
Pada hari itu juga Mayor Jendral Pareira kembali ke Makassar.
Pembentukan Batalyon 3 Mei Kolonel Kawilarang lega setelah mengetahui
keadaan sebenarnya dan untuk pertama kali mengunjungi leluhurnya ketika
berada di Manado pada 10 Mei.
Dengan demikian meringankan beban dan berkonsentrasi menumpas RMS di
Maluku. Sedangkan Batalyon Worang mendarat pada 10 Mei juga disambut
hangat masyarakat Manado di organisir “pemberontak” LFP hingga Manado
terhindar dari konflik militer. Peristiwa Gerakan 3 Mei menjadi nama
Batalyon dan dikukuhkan pada 20 Mei 1950 di lapangan Tikala. Let-Kol
Warouw atas nama pemerintah RI menganugerahkan Bintang Gerilya kepada
para pelaku.
Batalyon 3 Mei terdiri dari bekas prajurit KNIL dengan pemuda LFP
dibentuk dengan susunan: Komandan: Mayor Alex Mengko; Wakil Komandan dan
Kepala Kompi Staf: Kapten Fred Bolang; Kompi I: Kapten Alex Angkow;
Kompi II: Kapten Tumonggor; Kompi III: Kapten Simon Pontoh; Kompi IV:
Kapten Lexi Anes; Kompi Bantuan: Kapten Laurens Saerang. Ketkuatan
senjata batalyon 3 Mei terdiri dari: 1000 pucuk senjata L.E., 4 Vickers
Mitraliur, M-23, 3 Mortir 81, 100 pucuk sten-gun, dll. Seluruh senjata
yang direbut dari KNIL berjumlah 2500 pucuk termasuk sejumlah peti
amunisi peluru.
Batalyon 3 Mei dikembangkan dengan merekrut pemuda mengikuti
pendidikan menjadi militer oleh para bekas prajurit KNIL yang menjadi
instruktur. Setelah pendidikan mereka kemudian disertakan dalam operasi
menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Penugasan dilakukan oleh Kolonel
Kawilarang sebagai Panglima Panglima KTTIT (kemudian menjadi KO TT-VII)
pada bulan Juli 1950. Batalyon 3 Mei berkekuatan 1.000 pasukan
diberangkatkan dengan kapal “Waikelo” pimpinan Mayor Mengko dan Kapten
Fred Bolang.
Disana mereka bergabung dengan kesatuan TNI dari Jawa dan berhasil
menghantam RMS yang berkekuatan sekitar 2.000 prajurit KNIL yang
berhasil di lumpuhkan dan Ambon direbut TNI pada 4 November 1950.
Sedangkan Manusama dan anggota RMS lainnya terbang ke Jakarta dan dengan
bantuan Belanda bermukim ke negeri Belanda. Soumokil dan sisa
pengikutnya lari ke Seram dan ditangkap pada 12 Desember 1963 di Wahai
oleh Batalyon Endjo dari Siliwangi.Soumokil di jatuhi hukuman mati oleh
Mahkamah militer di Jakarta pada 22 April 1964.
Masuk Siliwangi Setelah penumpasan RMS, Batalyon 3 Mei mengalami
pergantian pimpinan dan Mayor Mengko diganti oleh Mayor Mamusung. Walau
dibentuk di Manado, namun setelah selesai operasi di Maluku, Batalyon
ini tidak kembali ke Manado tetapi mulai di sebar keberbagai kesatuan
dan langsung dikirim ke Jawa, dan oleh Kolonel Alex Kawilarang
ditempatkan dalam kesatuan Divisi Siliwangi. Setiba di Jakarta, Wadan
Yon 3 Mei diserahkan kepada Kapten G. H. Mantik. (Let-Jen (Purn.) TNI.
Sedangkan Kapten Fred Bolang bertugas sebagai Staf I TT-7 di Makassar.
Setelah berada di Jakarta, Batalyon 3 Mei dibagi dua, masing-masing
di Jakarta di Kesatuan Korps Cadangan, yang lainnya ditempatkan di
Cimahi, Jawa Barat. Bagi kalangan prajurit Batalyon 3 Mei, terutama
eks-KNIL, daerah Jawa Barat tidak asing, karena Bandung adalah Markas
Besar Militer KNIL sebelum Perang Dunia Kedua. Jawa Barat juga sudah di
kenal masyarakat Sulawesi Utara sejak 1880′an, ketika 5.000 pemuda
Minahasa direkrut dan di didik menjadi pasukan komando “Rangers” bersama
rekan-rekan dari Jawa, terutama asal Banyumas.
Mereka di didik menjadi pasukan khusus dan dilibatkan dalam berbagai
ekspedisi militer. Banyak dari mereka berada di Subang, yang menjadi
pusat latihan militer KNIL. Subang dan daerah-daerah Jawa Barat bagian
Selatan waktu itu sangat strategis dan merupakan pusat perkebunan
komoditi ekspor sebagai asset utama bagi perekonomian Hindia-Belanda.
Untuk itu keamanan di wilayah-wilayah ini diprioritaskan hingga turunan
Minahasa hidup turun temurun di Jawa Barat.
Sifat integratif dari masyarakat Minahasa di perantauan hingga kota
Bandung yang dikenal sebagai “student-centre” masyarakat kota kembang
ini berkembang menjadi masyarakat cosmopolitan. Hal ini terjadi dengan
pembauran kalangan pelajar asal aneka-ragam budaya etnik dari berbagai
penjuru pelosok nusantara. Dari turunan ini pula hingga muncul
pemuka-pemuka Perjuangan Laskar Pemuda KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia)
dan berperan aktif di masa revolusi kemerdekaan. Juga meniti karier
militer melalui Divisi Siliwangi yang berpusat di Bandung*
http://vipbola88.blogspot.com/2017/06/astaga-perempuan-wni-ini-ikut-perang-di.html
BalasHapushttp://mynewgooger.blogspot.com/2017/06/blog-post.html
SITUS JUDI TERBESAR DAN TERPECAYA SE ASIA
DEGAN 1 USHER ID SAJA SUDAH BISA BERMAIN SEMUA GAMES DI ANGKASABOLA SEPERTI
1. SPORTBOOK
2. TOGEL
3. TANGKAS
4. KENO
5. SLOT
6. GD88
7. 855CROWN
8. POKER
DAN MASIH BANYAK YANG LAINYA LOH BOSKU
KEUNGGULAN ANGKASABOLA
- PROSES DEPO DAN WD CEPAT TIDAK SAMPAI 1 MENIT
- WD BERAPAPUN AKAN DI PROSES DENGAN CEPAT
- DILAYANI LANGSUNG OLEH CS PROFESIONAL 24 JAM CANTIK DAN RAMAH
- SEKALI MENCOBA LANGSUNG HOKI
- MIN DEPO & WD CUMA 50 RB
- HANYA DENGAN 1 USHER ID SUDAH BISA BERMAIN DI ANGKASABOLA
DAN ANGKASABOLA JUGA MEMILIKI BEBERAPA BONUS SEPERTI
1. BONUS CASHBACK 5%
2. BONUS REFFERAL 2,5%
3. BONUS ROLLINGAN CASINO 0,8%
JANGAN TUNGGU LAGI LANGSUNG SAJA BERGABUNG DENGAN KAMI DI
WWW.ANGKASABOLA.COM
WWW.ANGKASABOLA.INFO
WWW.ANGKASABOLA.ORG
LANGSUNG SAJA CONTACT KAMI :
BBM : 7B3812F6
TWITTER : CSANGKASABOLA
INSTAGRAM: CS1ANGKASABOLA
FACEBOOK : ANGKASA BOLA
kekuatan militer dari minahasa memang banyak membantu kemerdekaan RI
BalasHapus