Dalam sejarah panjang Minahasa, terdapat dalam tinta emas perlawanan
terhadap penjajah Belanda , yaitu Perang Tondano 'Benteng Moraya',
dimana nilai-nilai perjuangan dan persatuan sebagai negeri yang bebas
dari penjajahan juga dijunjung tinggi oleh rakyat Minahasa.
Pada
tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado.
Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris.
Mengetahui ada konflik antara Belanda dan Inggris maka para Walak
Minahasa meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda. Dalam upaya
mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan, mesiu, dan meriam dari
Inggris.
Ketika Residen Dur digantikan oleh Residen Prediger, maka
orang Tondano mulai menyiapkan diri untuk berperang melawan belanda.
Dipimpin oleh Tewu (Touliang) dan Ma’alengen (Toulimambot), orang
Tondano merasa yakin bahwa pemukiman mereka diatas air di muara tepi
danau sulit diserang Belanda, tidak seperti pemukiman walak-walak
Minahasa lainnya.
1806
Benteng Moraya di Minawanua mulai
diperkuat dengan pertahanan parit di darat dan pasukan dengan kekuatan
2000 perahu di tepi danau. Pemimpin Tondano mengikat perjanjian denga
walak-walak Tombulu, Tonsea, Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk
mengirmkan pasukan dan bahan makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya
yang membantu antara lain : Andries Lintong (Likupang), Umboh atau Ombuk
dan Rondonuwu (Kalabat) Manopo dan Sambuaga (Tomohon), Gerrit Opatia
(Bantik), Poluwakan (Tanawangko), Tuyu (Kawangkoan), Walewangko
(Sonder), Keincem (Kiawa), Talumepa (Rumoong), Manampiring (Tombasian),
Kalito (Manado), Kalalo (Kakas), Mokolengsang (Ratahan) sementara
pemimpin pasukan Tondano pada awal peperangan adalah Kilapog, Sarapung
dan Korengkeng.
1808
Pada bulan Mei 1808, Minahasa sudah
melarang Belanda pergi ke pegunungan, tapi pada tangal 6 Oktober,
Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari serdadu dari Gorontalo,
Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon dan mendirikan tenda-tenda di
Tata´aran. Pada tanggal 23 Oktober, Belanda mulai menembaki benteng
Moraya Tondano dengan meriam 6 pond. Namun, mereka tidak menyangka bahwa
akan ada perlawanan dari pihak Tondano. Bahkan, tenda-tenda Belanda di
Tata´aran mendapat kejutan setelah pasukan berani mati pimpinan Rumapar,
Walalangi, Walintukan dan Rumambi menyerang di tengah malam. Pada bulan
November, pimpinan utama Belanda Prediger terluka kepalanya akibat
terkena tembakan di Tata´aran. Dia kemudian digantikan wakilnya Letnan
J. Herder. Perang kemudian bertambah panas yang kemudian ditandai dengan
perang darat dan perahu.
1809
Click to enlarge
Kapal Kora-Kora
Pemimpin
tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik bahan
makanan dari Kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan Jacob
Korompis menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan
malam hari itu, JACOB berhasil merebut amunisi dan senjata milik
Belanda.
Tanggal 2 Juni Belanda melakukan perjanjian dengan
kepala-kepala wala Minahsa lainnya. Kemudian pasukan –pasukan yang bukan
orang Tondano muali meninggglakan Benteng Moraya karena bahan makanan
muali berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon dan
Kalabat.
Setelah Benteng Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdengar
lagi teriakan-teriakan perang dan bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada
suatu malam, Belanda menyerang Benteng itu dan membakar rata dengan
tanah. Serangan itu dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus dan pagi
5 Agustus. Dalam penyerangan tersebut, Belanda kemudian membumi
hanguskan Benteng Morya Tondano. Pimpinan utama dari perang di Tondano
adalah Tewu (Touliang), Lontho (Kamasi-Tomohon), Mamahit (Remboken),
Matulandi (Telap) dan Theodorus Lumingkewas (Touliang). Mereka adalah
kepala-kepala walak yang disebut “Mayoor” atau Tona’as perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar