veldbox dan bunker berada di Manado
sejak era Perang Dunia II. Veldbox dibangun untuk menangkis serangan
pendaratan Kaigun, angkatan perang Jepang yang hendak masuk ke Kota
Manado.
Sejumlah veldbox dibangun di Singkil, Paal II, Banjer dan
Sario pada tahun 1940. Ikhwalnya, Negeri Belanda di telah diduduki
Jerman dengan angkatan perang modern-nya dalam waktu singkat. Indonesia,
yang waktu itu dikenal luas dengan Hindia Belanda yang turut serta
dalam barisan Tentara Sekutu melawan Jepang membangun puluhan veldbox
terbuat dari beton yang rata-rata berdiameter 2 meter.
Ternyata,
bangunan ini kemudian sama sekali tak berguna karena pasukan pendaratan
Jepang (Kaigun) menghindari
veldbox-veldbox itu. Strategi Kaigun jitu, mendarat ke pesisir Sulawesi
Utara pada 10 Januari malam hari. Mereka masuk lewat Pantai Wori,
Malalayang yang tak ada veldbox-nya.
Tentara dan milisi kita
(Indonesia) dan sekutu dilanda kepanikan hebat. Mereka melarikan diri
mengungsi ke luar Manado dengan cara menanggalkan pakaian militernya
sebagai upaya jangan sampai 'dihabisi' Kaigun.
Berita yang saya
(penulis) rangkum dari mereka, "Seorang milisi, yaitu pemilik sekolah
bermarga Tungka dibunuh tentara Jepang dengan bayonet. Persoalannya
sepele. Ia tak segera menjawab waktu ia diteriaki: Indonesia-kah?
Belanda-kah?"
Bagi saya, veldbox yang dibangun tentara Hindia-Belanda
tidak punya nilai sejarah. Apalagi tak ada tentara (Belanda) dan milisi
kita (stadwatch) yang mau mati konyol dalam kotak atau lingkaran beton
tersebut. Di Minahasa, semua anggota milisi Vernielings Corps
(VC)--regu pemusnah-- dihukum mati dengan cara dipancung
kepalanya. Pangkalnya, kepala VC telah memerintahkan pembakaran
gudang-gudang beras, minyak serta menghancurkan jembatan-jembatan antara
ruas Sawangan-Airmadidi (Minut), Rumoong- Lansot (Minsel), Kairagi
(Manado), dan Ranoyapo (Amurang, Minsel).
Bunker, tempat hunian dalam
tanah atau bisa disebut juga gua di bawah bukit atau gunung. Hunian ini
dibangun Jepang pada masa penderitaan mereka kalah di Perang Pasifik
(1944). Bunker lebih berfungsi sebagai tempat perlindungan dalam tanah
dari serangan udara musuh (Tentara Sekutu). Rakyat Kota Manado yang
tidak boleh menyingkir juga membuat lubang perlindungan yang ternyata
dengan mudah dihancurkan oleh pemboman Sekutu. Akibatnya, rakyat Kota
Manado banyak jadi korban dalam Perang Pasifik itu.
Penulis pernah
berkantor di sebuah bunker yang letaknya di bawah Gunung Komo, sekarang
di belakang Swissbel Hotel Manado. Bunker ini dibangun Pemerintah Jepang
untuk jadi markas, tempat penyingkiran
pasca hancurnya Kantor Residen Jepang akibat pemboman Sekutu pada
September 1944. Penulis waktu itu bertugas sebagai pegawai Bagian
Kehakiman urusan penterjemahan.
Bunker yang berfungsi sebagai kantor
Pemerintah Jepang dalam pengungsian bentuknya sangat luas, berventilasi
dan diterangi lampu listrik. Banguna ini berdinding papan tebal dengan
lantai permadani. Interiornya dominan warna merah.
Tetapi sekutu
melalui intelejennya (spion, mata-mata) mengetahui lokasi ini dan
melepaskan bom berukuran berat di atas Gunung Komo. Saat itu kami
terlempar ke atas ke bawah, karena tekanan vertikal dari voltreffer bom
tersebut. Berbeda dengan goncangan horizontal seperti gempa bumi.
Bunker
ini, jika masih ada, pantas dijadikan benda purbakala karena nilai
sejarahnya, pernah dijadikan kantor Minscibu Sulawesi Utara dalam
penyingkiran (Oktober 1944). Pada November 1944, Kantor Minscibu pindah
ke Kampung Wulauan Tondano. Kepala Pemerintah Jepang
dijabat Laksamana K Hamanaka yang bermarkas di Bunker Tonsea Lama.
Bunker ini berada di dalam gua bawah gunung. Jika masih terpelihara baik
sepantasnya dijadikan benda purbakala yang bernilai sejarah.
Di
atas semua itu, satu-satunya benda purbakala yang punya nilai 'keramat'
dan menjadi simbolistik Perang Pasifik dan bernilai artistik ialah Tugu
Memorial Korban Perang Dunia II yang dibangun Sekutu pada tahun 1946.
Lokasinya di Lapangan Gereja Sentrum Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar