Monumen 250 tahun Kontrak Belanda-Minahasa dibangun 1929. *) |
Dari
tiga serangkai penguasa Minahasa, yang pertama meninggal adalah Lontoh Tuunan
di tahun 1719, menyusul Paat Kolano tahun 1725 dan terakhir Pacat Supit Sahiri
Macex bulan Maret 1738. Lontoh Tuunan digantikan anaknya Rondonuwu (Lontoh)
sebagai Hukum Mayoor, Kepala Balak Sarongsong, Paat Kolano digantikan putranya
Manengkeimuri sebagai Hukum Mayoor, Kepala Balak Tomohon, dan Pacat Supit
diganti putranya Mongi sebagai Hukum Mayoor, Kepala Balak Tombariri. Anak Supit
Sahiri bernama Rondonuwu (Supit) kelak mengambilalih posisi Manengkeymuri di
Tomohon.
Kematian
Lontoh Tuunan dikisahkan meninggal karena sakit, dan diwarugakan di ibukota
Sarongsong saat itu, sekarang lokasi bernama Tulau-Amian Nimawanua. Sayang
waruganya tidak diketahui lagi posisinya, terlupakan oleh waktu dan kemungkinan
hancur atau tertimbun tanah setelah persitiwa gempa bumi tahun 1845 yang
menyebabkan penduduknya pindah ke lokasi Sarongsong sekarang di bagian timur
‘kota’ tua itu.
Versi
lain yang berlatar kisah yang banyak berkembang sebelumnya (terutama di periode
pemerintahan Gubernur H.V.Worang) sampai waruga Lontoh dan Paat ada di Treman Kecamatan
Kauditan Kabupaten Minahasa Utara (di samping gereja GMIM ‘Eben Haezar’) adalah
karena mereka merupakan pribadi dan kepala orang Tonsea. Bahkan ada penulis
menggambarkan Paat Kolano sebagai Kepala Tombulu, Supit Kepala Toulour dan
Lontoh Kepala Tonsea. Versi Treman, Lontoh ini sebagai pendiri Treman di tahun
1776. Versi lainnya yang mempertegas klaim waruga Treman ini sebagai milik
Lontoh dan Paat adalah silsilah yang mengungkapkan mereka sebagai tokoh asal
Tonsea juga kerabat dekat. Lontoh adalah anak Regar dan Ringking, serta mengawini
Amben putri Runtulangi dan Tolang Pinorotan. Lalu Supit adalah anak Tidadas
(kakak Amben) dengan Kowulan, sedangkan Paat anak Kokory Pinasoke (kakak kedua
Amben) dengan Soerensina.
Waruga di Treman dikisah kubur Paat. *) |
Tentang
kematian Paat Kolano selain kisah meninggal wajar di usia tua dan diwarugakan
di Tomohon, meski juga buktinya tidak ada lagi, karena Nimawanua bekas lokasi
kota lama Tomohon sampai tahun 1845 telah menjadi kompleks hunian cukup padat
di Kelurahan Kolongan, berkembang versi kalau nasibnya berakhir tragis. Paat meninggal
karena dibunuh, bahkan sampai dipenggal kepalanya.
Konon,
kejadiannya ketika ia pergi ke Tonsea dari Tomohon, ia dihadang di lokasi
berdekatan Airmadidi lalu dibunuh dan mayatnya dilempar ke dalam jurang. Namun,
di Tondano beredar kisah lain kalau Paat telah dibunuh di Tataaran, malahan
musuh-musuhnya sampai memenggal kepalanya.
Memang,
mengherankan Belanda seakan enggan mengusung nama Lontoh dan Paat. Berbeda
dengan Pacat Supit Sahiri yang jasa-jasa dan namanya kemudian begitu dihormati
Belanda sejak dekade kedua abad ke-20. Setiap tahun sampai dengan Belanda
angkat kaki dari Minahasa di tahun 1949, saban tanggal 10 Januari dilakukan
peringatan penandatanganan Kontrak 10 Januari 1679.
Gubjen de Jonge di monumen 250 tahun Perjanjian Belanda-Minahasa. * |
Upacara resminya dengan
dipimpin Residen Manado bertempat di monumen peringatan 250 tahun perjanjian
Belanda-Minahasa yang dibangun tahun 1929, kemudian dilanjutkan dengan kunjungan
ziarah ke waruga sahiri (saksi)
perjanjian tersebut, Pacat Supit di depan gereja Protestan Woloan (kini gereja
GMIM ‘Eben Haezar’ Woloan II) yang ikut dipugar di tahun 1929 dibawah petunjuk
Asisten-Residen Manado Max Hamerstar.
PINDAH DUA KALI
Ketika
Pacat Supit Sahiri Macex meninggal di Tomohon bulan Maret 1738 terjadi keributan
besar. Jenasahnya saling diperebutkan balak-balak besar Minahasa. Ares,
Tombariri, Tondano dan Tomohon. Masing-masing ingin Supit diwarugakan di
wilayahnya. Putranya dari istri Ares Suanen, yakni Hukum Mayoor Tololiu yang sangat
dekat dengan Residen Manado menginginkan Supit dikuburkan di Tikala ibukota
Ares. Putranya dari istri Woki Konda di Tombariri yakni Hukum Mayoor Mongi
ingin Supit dikuburkan di Katingolan ibukota Tombariri. Begitupun putranya di
Tondano mengklaim ayahnya lebih pantas dikubur di Tondano. Namun kemudian
semuanya tidak berdaya, karena kakak tiri mereka yang merupakan putra paling
tua Supit dari istri pertama Laya, yakni Hukum Mayoor Rondonuwu mengambil
keputusan Pacat Supit akan dikuburkan di Kamasi, berdampingan waruga Laya.
Putra-putra
lain Pacat Supit cukup puas, namun tidak demikian dengan Mongi serta para
kepala Tombariri lainnya di Katingolan. Mereka merencanakan akan mencuri waruga
Supit di Kamasi. Rencana tersebut dijalankan pada suatu malam ketika penduduk
Kamasi benar-benar tertidur pulas. Puluhan pria Tombariri menarik waruga Pacat
Supit dari liangnya dengan menggunakan tali yang terbuat dari bambu teling muda (buluh tumatikak). Selama penggalian waruga itu, para wanita
Tombariri melakukan tarian Sinauan untuk memberi semangat. Maka, tidak lama
waruganya terangkat, lalu dipikul beramai-ramai ke barat ke lokasi ibukota
Tombariri di Katingolan sekarang. Ritual Sinauan memimpin mereka sampai waruga
tiba di negeri, dan kemudian dikuburkan ulang.
Rondonuwu
awalnya marah dengan ulah adik tirinya, namun kemudian setelah Mongi memberi alasan
bahwa ayah mereka paling layak dan pantas dikubur di Katingolan tempatnya lama
memerintah, ia menerima.
Setelah
Mongi memindahkan ibukota Balak Tombariri ke Lolah, bekas ibukota lama di
Katingolan tinggal menyisakan negeri bernama Woloan yang kemudian dihancurkan
gempabumi dahsyat tanggal 8 Februari 1845. Gempa yang sering dikaitkan dengan
letusan gunung Lokon itu berlangsung selama sembilan hari sembilan malam,
menelan banyak korban jiwa, terjadi retakan besar di sana-sini dan ancaman longsor di
bagian utara dan selatan Katingolan yang memang bertebing. Penduduk Woloan makin sengsara
karena saat itu pun berjangkit wabah penyakit.
Gereja Protestan di belakang waruga bersama pejabat Belanda dan pribumi. *) |
Para
pemimpin Woloan di Katingolan ketika itu, dihadiskan Tonaas Rumondor, Walian
Pontoh, Putoosan Kapoh dan Teterusan Makal menyepakati memindahkan Woloan ke
tempat aman di bagian selatan, lokasi sekarang. Untuk rencana pemindahan tersebut sampai dilakukan tiga
kali acara Linigauan, baru diperoleh tanda baik. Pemindahan Woloan di tahun
1845 itu juga berlangsung semarak. Waruga Pacat Supit ikut ditarik dari liangnya dan
diusung beramai-ramai ke lokasi baru yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer.
Pemindahan negeri serta waruga Supit tersebut dimeriahkan dengan pesta rakyat. Penduduk menabuh bunyi-bunyian serta memainkan musik lengdeng, yakni gitar dari bambu yang diketik-ketik dan berbunyi deng-deng. Khusus ritual waruga Pacat Supit yang ditarik mengunakan tali buluh tumatikak disemaraki wanita-wanita yang menarikan tari Mangaloong. Akhirnya waruganya ditanam kembali di tengah-tengah pemukiman baru (kini masuk Kelurahan Woloan II Kecamatan Tomohon Barat).
Pemindahan negeri serta waruga Supit tersebut dimeriahkan dengan pesta rakyat. Penduduk menabuh bunyi-bunyian serta memainkan musik lengdeng, yakni gitar dari bambu yang diketik-ketik dan berbunyi deng-deng. Khusus ritual waruga Pacat Supit yang ditarik mengunakan tali buluh tumatikak disemaraki wanita-wanita yang menarikan tari Mangaloong. Akhirnya waruganya ditanam kembali di tengah-tengah pemukiman baru (kini masuk Kelurahan Woloan II Kecamatan Tomohon Barat).
Waruga Supit setelah dipugar 1929. *) |
mantap, ini kisah yang harus diturunkan kepada generasi penerus minahasa supaya menghormati nilai-nilai luhur para pendahulu kita, tanpa perjuangan mereka kita tidak begini saat ini, sebenarnya Minahasa bisa menjadi Negara Sendiri, kalau para pendahulu kita mengerti sejarah......
BalasHapusmonument itu dimana sekarang
BalasHapus