Lukisan lain wajah Supit. *) |
Kehebatan
Pacat Supit Sahiri Macex bukan sekedar pada kepintaran, wibawa dan karismanya
saja, tapi juga pada senyumnya yang memikat. Bilamana senyumnya merebak, dan ia
mulai berbicara, orang-orang akan terpesona, apalagi bagi kaum hawa. Kilauan dari
barisan gigi putihnya, yang terbiasa mengunyah sirih-pinang mengumbarkan daya tarik
yang akan membuat wanita gampang jatuh cinta. Bentuk gigi-giginya itu konon
kecil persis gigi tikus sehingga sangat memikat siapapun yang memperhatikannya.
Gadis
pertama yang membuatnya jatuh cinta adalah Laya berasal Kamasi. Dari perkawinannya
lahir putra bernama Rondonuwu dan seorang putri bernama Liwun. Tidak berselang
lama kemudian Supit jatuh cinta kepada Suanen. Dikisahkan bila Supit berkunjung
ke Manado untuk urusan jabatannya di Benteng VOC dan bertemu Residen ia akan
singgah dan banyak kali bermalam di rumah Kepala Balak Ares bernama Rumondor di
Tikala. Sang kepala Ares telah berusia tua, namun mempunyai banyak istri, dan
istri mudanya bernama Suanen benar-benar jatuh hati kepada Supit pada pandangan pertama.
Saat
acara pesta setelah panen memetik padi baru di Ares, yang di masa itu biasa menjadi
ajang perkawinan penduduk Minahasa, Suanen yang menari dan menghibur di depan
suaminya Rumondor dan Supit terang-terangan mengungkapkan isi hatinya kepada
Supit. Rumondor yang maklum dengan rela hati menyerahkan istri mudanya yang
cantik itu menjadi istri Supit.
Mendengar
kejadian tersebut, Laya istri pertama Supit marah dan mengancam akan
mencabik-cabik Suanen. Maka, Supit yang takut pada istrinya tidak berani
membawa istri barunya ke Katingolan ibukota Balak Tombariri. Di Ares ia
membangun rumah baru untuk Suanen yang kelak melahirkan anak lelaki dinamai
Tololiu.
Beberapa
waktu kemudian, di sekitar tahun 1682 Supit memimpin pasukan Minahasa membantu
komandan Benteng Manado Sersan Herman Smith menghukum Balak Pasan-Ratahan, Tonsawang
dan Ponosakan. Balak-balak tersebut telah masuk Minahasa tapi masih membangkang
dengan berupeti kepada Raja Bolaang (Mongondow).
Mendengar
Supit yang memimpin langsung pasukan penyerbu, Kepala Balak Pasan (bangko)
bernama Watuseke merasa gentar. Ia menggunakan siasat wanita, sebab kesukaan
Supit pada wanita cantik bukan rahasia lagi. Putri cantiknya bernama Woki Konda
disuruh menyambut kedatangan Supit dan pasukannya di luar Ratahan. Dengan diantar
pengiring sambil berhiaskan emas permata, ketika bersua Suanen spontan membuat
Supit jatuh cinta. Perkawinan pun berlangsung di Ratahan, membuahkan hasil lain
Pasan-Ratahan, Tonsawang dan Ponosakan tidak lagi mendua dan dengan resmi
bergabung mutlak sebagai balak-balak Minahasa.
Lagi-lagi
Laya istri pertama Supit cemburu dan marah. Sambil merajuk pulang ke Tomohon
dan tinggal kembali di rumahnya di Kamasi, ia mengancam akan merobek-robek (kese’en) wajah cantik Woki Konda bila
ditemuinya. Pulangnya Laya ke Tomohon justru dianggap kesempatan bagus oleh
Supit. Ia membawa istri barunya dari Ratahan ke Katingolan dengan memotong
jalan di Sarongsong, sehingga tidak melewati Tomohon karena takut akan ancaman
Laya. Woki Konda melahirkan Mongi, Tinangon dan gadis bernama Kaampungen.
Ketika Supit meninggal, Mongi membawa ibunya ke Lolah tua, ibukota baru
Tombariri sampai meninggal dan diwarugakan di situ.
Supit
Sahiri di masa kemudian ketika diangkat menjadi Kepala Balak Tondano di tahun
1710 memperistri dua gadis Tondano bernama Riri dan Wair. Dari Riri ia
memperoleh anak bernama Nulu yang dikawini Rambek serta kemudian menurunkan
kepala-kepala di Tondano.
Dipercayai
pula Supit mempunyai banyak selir di setiap tempat. Dia adalah tokoh berkarisma
dan dimana-mana bila berkunjung selalu disambut seperti raja, selalu ditandu
seperti para Residen Manado, dihadiahi bermacam hadiah, budak-budak (ata) dan harta lainnya. Namun ditutur,
ia mengidap penyakit rematik yang disebut supi’.
Bahkan nama penyakit itu dikaitkan bersumber dari namanya.
VERSI
Bagaimana
naiknya Supit ke jenjang kekuasaan muncul sejumlah versi. Paulus Supit dan
Lodewijk Wenas mengisahkan awalnya Supit mengakali ayah tirinya Ombeng yang
sementara menjabat Kepala Balak Tombariri di Katingolan. Saat itu Kompeni
Belanda mengundang para kepala Minahasa untuk hadir di Benteng Amsterdam Manado.
Lodewijk Wenas menyebut peristiwanya berkaitan dengan Kontrak 10 Januari 1679,
meski Paulus Supit menegas terjadi ketika VOC Belanda belum lama mendarat di
Minahasa dan mencoba berhubungan dengan kepala-kepala Minahasa.
Konon,
Supit mengatakan kepada Ombeng kalau Belanda meminta para kepala datang dengan
memakai pakaian berwarna merah. Hal mana tentu saja tidak disetujui Ombeng yang
sedang berduka karena baru kematian Winuni, ibu kandung Supit. Maka Supit yang
akhirnya dikirim mewakili Balak Tombariri dalam pertemuan di Manado.
Karena
pintarnya oleh Belanda Supit diberikan gelaran Kapitein dan diakui sebagai
Kepala Balak Tombariri. Ombeng yang menyayanginya menyetujui penggantian
dirinya tanpa mengindahkan protes anak kandungnya bernama Ogi yang merasa
berhak atas posisi tersebut.
Kontrak
Perjanjian 10 Januari 1679 itu, pihak VOC Belanda diwakili oleh Gubernur Maluku
Dr.Robertus Padtbrugge untuk atas nama Gubernur Jenderal Rijcloff van Goens.
Sedang nama-nama tokoh Minahasa yang ditonjolkan adalah Pacat Supit, jurubahasa
Bastian Saway, Hukum Mandey dan Pedro Ranty. Nama Lontoh dan Paat tidak disebut
kecuali nama balaknya. Tomohon dalam kontrak berada di urutan ke-6, Tombariri
urutan ke-7 dan Sarongsong urutan ke-8.
Dua versi
lain dari Paulus Supit, Lodewijk Wenas, Emiel Lontoh dan Arie Mandagi, kenapa sampai
Lontoh Tuunan dan Paat Kolano tidak bertanda pada perjanjian itu, adalah karena
ulah Supit juga. Versi pertama, Lontoh Tuunan sebagai yang tertua dan pemimpin
mereka seperti halnya dengan Paat tidak paham bahasa Melayu. Ketika telah tiba
di Manado, sebelum hari pertemuan tersebut, Supit berbicara kepada Lontoh dan
Paat. ‘’Kalau Kompeni bertanya, kalian cukup menjawab ene (iya).’’
Maka,
di hari pertemuan tersebut ketika Belanda
menanya siapa pemimpin mereka, Supit memanfaatkan peluang dengan
berbicara Melayu yang dikuasainya bahwa dialah pemimpin mereka, bukannya Lontoh
Tuunan. Untuk memperjelas ia bertanya kepada Lontoh dan Paat dalam bahasa
Tombulu, ‘’Benar, kan?’’ Tidak mengetahui makna sesungguhnya, Lontoh dan Paat
menyahut , ‘’Ene!’’. Maka jadilah Supit yang dianggap kepala sehingga dialah
yang meneken Kontrak 10 Januari tersebut.
Masih
cerita berkaitan dengan versi ini. Lontoh Tuunan dan Paat akhirnya mengetahui
akal bulus Supit dan menolak untuk meneken kontrak tersebut. Konon, baru di
masa berikut ketika Belanda ingin memilih pemimpin Minahasa, untuk meredakan
ketidaksenangan Lontoh dan Paat terhadap Supit, ketiganya diberi posisi sama
sebagai Hukum Mayoor Kepala, yang menurut sejarawan Bert Supit terjadi di tahun
1689.
Versi
kedua yang beredar, ketika Belanda mengundang para kepala Minahasa untuk datang
menghadiri pertemuan tanggal 10 Januari 1679 di Benteng Amsterdam Manado
tersebut, ketiga serangkai Minahasa ini dari Tomohon singgah mandi di sebuah
mata air di Pineleng dekat Lota, ibukota Balak Kakaskasen saat itu. Lontoh yang
menjadi kepala mereka melepas pakaian kebesaran ketonaasannya dan diambil Supit
yang kemudian diterima Residen Manado dan ditunjuk Gubernur Robertus Padtbrugge
sebagai pemimpin dengan gelaran kapitein.
Konon,
sejak kejadian tersebut, terjadi perang dingin terutama antara Lontoh Tuunan
didukung Paat Kolano dengan Supit Sahiri yang berlanjut sampai beberapa
keturunan. Apalagi, ketika mereka telah meninggal, masih terjadi perseteruan di
kalangan anak-anak mereka. Manengkeimuri anak Paat Kolano dijatuhkan Rondonuwu
anak Supit dari Laya sebagai Kepala Balak Tomohon, dimana Rondonuwu dibantu
adik tirinya Tololiu dari Ares yang dekat dengan Residen Manado. Perang dingin
mereka, menurut Lodewijk Wenas, baru berakhir ketika Lukas Wenas yang membawa
‘darah’ Lontoh Tuunan, Paat Kolano dan Supit Sahiri tampil berkuasa di Distrik Tomohon
di tahun 1862, hampir dua abad kemudian.
KONTROVERSI TERNATE
Pacat
Supit Sahiri Macex dihadiskan lahir di sekitar tahun 1642, Lontoh Tuunan 1640
dan Paat Kolano tahun 1650. Tentu hadis ini bertentangan dengan tulisan
Graafland yang menyebut Supit mencapai usia 110 tahun sehingga tahun lahirnya
adalah 1628. Artinya juga mereka tidak pernah ke Ternate di tahun 1654 sebagai
duta-duta Minahasa yang mengundang Belanda datang ke Minahasa, seperti banyak
dipercayai selama ini. Sebab dengan hadis demikian, Paat berarti masih bocah
dan Lontoh serta Supit baru beranjak dewasa. Namun memperhatikan ketokohan ayah
dan kakek mereka yang masih hidup dan berperang aktif mengusir Spanyol di tahun
1644 sangat masuk akal. Paat Kolano baru menjadi Kepala Balak Tomohon di tahun
1680 menggantikan kakeknya Tonaas Tamboto, sedangkan Lontoh mengganti ayahnya
Mandagi 1675, dan Supit Sahiri mengganti ayah tirinya Ombeng di tahun 1678 atau
1680.
Waruga Pacat Supit sekarang di Woloan II. *) |
Nama
mereka baru resmi tercantum bersama dalam Kontrak 10 September 1699 dengan
Residen Manado Kapten Paulus de Brieving dan Asisten-Residen Samuel Hatting.
MABOK KUASA
Setelah
belasan tahun, dominasi dari kepala-kepala Tombulu ini tentu saja mendatangkan
ketidaksukaan para kepala balak dari sub-etnis lain. Apalagi kemudian
kepemimpinan dari ketiga serangkai ini diwarnai berbagai laporan tindak
semena-mena, pemerasan, pilih kasih, dan tidak netral, yang belakangan
berbuntut eksodus warga ke Minahasa Selatan yang kemudian dimanfaatkan kerajaan
Bolaang (Mongondow) untuk menegaskan kembali klaimnya atas wilayah seberang
sungai Poigar.
Bert
Supit menyebut yang pertama dipecat adalah Pacat Supit Sahiri Macex tanggal 10
Januari 1711, kemudian Lontoh Tuunan 12 Januari 1712 dan terakhir Paat Kolano 3 Februari 1722. Jabatan
Kepala Hukum Mayoor ditiadakan dan Supit, Lontoh dan Paat tinggal sekedar
kepala balak di wilayahnya sendiri.
Eksperimen
terakhir untuk memilih seorang pemimpin Minahasa di atas pemimpin lain coba
diterapkan ulang oleh Gubernur Maluku di Ternate Marten Lelievelt (1739-1744)
atas usulan Residen Manado Jan Smit di tahun 1739. Sang gubernur menunjuk anak
Pacat Supit Sahiri dari istri Suanen bernama Tololiu Supit yang menjabat Kepala
Balak Ares sebagai perantara dengan gelaran Hukum Mayoor Kepala. Tapi kembali
upaya itu gagal. Seakan para penyandang gelaran kepala hukum mayoor selalu
mabok kekuasaan dan lupa daratan. Meski selalu dibela Residen Manado Johannes
Pauwen, jabatan Tololiu Supit akhirnya dicopot tanggal 30 Juli 1743. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar