Lain halnya dengan nasib yang
menimpa para anggota pasukan Reservekorps rekan mereka yang mengakui
secara jujur telah ikut serta dalam pertempuran melawan pasukan payung Jepang
di pangkalan udara militer Kalawiran. Mereka itu, seperti sersan Robbemond,
sersan Sirus Wungkana, sersan Kaparang, spandri Tinus Neman,
spandri Serei Wurara, spandriSorongan, kesemuanya dikenakan hukuman
perang, karena turut serta dalam pesta bersenjata mencabut nyawa 130 serdadu
dan perwira pasukan payung “Yokosuka” dari korps marinir Tentara Jepang.
Robbemond dan Wungkana menjelang
akhir bulan Maret 1942 terlihat di pagi hari diikat pada pohon manggis di
pekarangan markas komando tempur pasukan payung Jepang yang terletak di samping
gereja Protestan GMIM di pertigaan jalan kota Langowan-Manado, Langowan-Belang.
Kedua orang komandan pasukan brigade Reservekorps KNIL itu mengalami
penyiksaan berat selama dua puluh empat jam penuh, dipukul-pukuli dengan kayu
hingga babak belur.
Pada tanggal 18 Maret 1942, tiba
di tempat itu puluhan tahanan perang Jepang yang terdiri dari pria dan wanita,
tua dan muda. Mereka diturunkan dari dua kendaraan truk Jepang yang datang dari
kota Amurang. Mereka adalah sebagian dari kelompok ex-pertempuran Kaneyan dan
Ritey onderdistrik Tombasian Amurang. Mereka menyerahkan diri pada tanggal 17
dan 18 Maret 1942, digabungkan dengan kelompok yang sudah terlebih dahulu tiba
di tempat ini, yang ditangkap di pasar Tumpaan pada tanggal 9 Maret 1942 yang
lalu. Dikarenakan demikian banyaknya para tahanan perang, sehingga mereka
disuruh setengah berlutut sambil menjepit balok kayu sepanjang enam meter di
antara kedua betis dan paha mereka, dengan tangan terikat di belakang badan.
Mereka berjajar memanjang hingga ke bagian belakang pekarangan markas komando
tempur Jepang itu. Sungguh bukan main siksaan yang dialami oleh mereka itu!
Pasukan payung korps marinir
Jepang sengaja menghukum para tahanan perang itu di tempat yang strategis, agar
rakyat yang datang dari kota Manado-Langowan, dari Belang-Ratahan-Langowan,
atau pun arah sebaliknya, serta terutama bagi masyarakat onderdistrik Langowan,
dapat secara langsung menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana “nasib
musuh” pasukan Tentara Jepang di tanah Toar-Lumimuut ini. Bagi sanak saudara,
keluarga, kerabat, atau pun rakyat yang lewat di tempat terbuka itu, malahan
dianjurkan agar jangan sekali-kali melinangkan air mata melihat penyiksaan
terhadap para tahanan perang itu. Sebab bila hal itu diketahui oleh petugas
serdadu Jepang, maka tanpa ditawar-tawar lagi akan dikenakan pula hukuman yang
sama, dengan alasan bersimpati dengan si tahanan perang yang merupakan musuh
mereka (Jepang).
Suasana semacam ini merupakan
sebagian dari duri-duri dalam kehidupan di masa perang, masa selama pendudukan
Jepang. Hukuman perang yang diperankan oleh para serdadu pasukan Tentara
Jepang, tidak hanya berhenti di tempat ini. Sepanjang hari sampai keesokan
petang hari, para tahanan perang itu tidak diberikan sesuap nasi atau setetes
air pun. Mereka memang sedang dalam persiapan untuk dipaksa melangkah ke depan
menuju lahan “Tokyo Baru”. Tokyo Baru, dua buah kata sandi yang digunakan oleh
rakyat di daerah ini untuk menunjukkan suatu lokasi tempat pelaksanaan “hukuman
pancung kepala” atau “hukuman tembak mati” bagi para korban perang di kaki
bukit Sampuk pada kawasan ladang perkebunan rakyat yang dinamakan “Temboan”, di
sebelah timur kampung Totolan onderdistrik Kakas. Terdapat empat lokasi tempat
pelaksanaan hukum perang di kawasan daerah perkebunan itu.
Para tahanan perang yang
berlatarbelakang pertempuran Kaneyan-Ritey, diperiksa satu demi satu yang erat kaitannya
dengan peristiwa yang telah menelan korban 39 serdadu pasukan tempur korps
marinir Jepang yang tewas, termasuk komandan operasi tempur kapten
marinir Baron Tashaki. Sepuluh orang tahanan perang dipisahkan dari
kelompok bekas pertempuran Kaneyan-Ritey. Mereka ini ialah kopral Reservekorps Jahja
Rumagit, sersan Beroepsmilitair Melieser, sersan pensiunanP.J.
Hoffman yang diciduk dari kamp Tawanan Perang Manado, kepala kampung
Kaneyan Joel Pratasis, kepala kampung Ritey Justinus Kimbal, Gode
Pratasis, Musa Pratasis, Urli Umboh, dan fuselir milisi Jus
Sumakud.
Carolina Pratasis di
hadapan tim pemeriksa Jepang dengan gigih membela sang suami tercinta
sersan P.J. Hoffman. Beberapa argumentasi ia lontarkan, antara lain bahwa
sang suami sama sekali tidak terlibat dalam aksi pertempuran baik sebelum
maupun sesudah aksi bersenjata. Hoffman jauh sebelumnya memang sudah
meringkuk di dalam kamp Tawanan Perang di Manado. Namun segala bentuk alibi,
tidak dijadikan bahan pertimbangan yang logis dan wajar untuk meraih kebebasan.Hoffman bersama
sang istri Carolina Pratasis dan rekan-rekan mereka dipaksa menjadi
korban perang di lahan “Tokyo Baru”, di kaki bukit Sampuk di kawasan kampung
Totolan, Minahasa.
Namun spandri Simon Penu tidak
termasuk dalam klasifikasi kelompok sepuluh tersebut di atas. Spandri ini luput
dari ancaman maut, berkat ulah dan jawaban polos dari putra sulungnya yang
masih kecil bernama Agam. Agam yang saat itu baru berusia tujuh
tahun, ketika ditanyai oleh juru bahasa tim pemeriksa Tentara Jepang, antara
lain “Apakah perbuatan Papa, salah?” yang ia jawab “Salah!” Lalu ketika
ditanya, “Apakah Agam sayang Papa?” dijawab, “Agam sangat sayang
Papa”. Lalu diberitahukan kepadanya, bahwa “Karena perbuatan Papa salah, maka
perlu mendapat hukuman mati!” Agam langsung menyahut, “Papa jangan
dibunuh, karena siapa lagi yang akan mengurusAgam dan adiknya yang tidak
punya Mama lagi.” Jawaban yang polos dari bocah itu rupanya telah menggugah
perasaan sang penguasa Jepang, sehingga spandri Simon Penu luput dari
renggutan maut.
Pada hari yang naas itu,
kesepuluh tahanan perang itu digabungkan dengan kelompok sersanRobbemond dan Sirus
Wungkana, sersan Kaparang dan rekan-rekan seperjuangan dari satuan
pasukan Reservekorps. Mereka diangkut dengan truk yang dikawal ketat oleh
serdadu pasukan payung Jepang, dibawa ke ujung kampung Totolan di lokasi bekas
tempat latihan menembak sekip brigade pasukan Reservekorps dan
tentara profesional KNIL. Kamiora adalah sang algojonya, sedangkan
pasukan korps marinir Jepang diperkuat oleh sederetan “regu tembak” Jepang,
yang sudah siap untuk melaksanakan tugas eksekusi di tempat itu.
Sang mentari bersembunyi di
balik awan seolah-olah turut merasa sedih dan iba untuk diundang menyaksikan
hukuman perang massal tahap pertama di ujung kampung itu. Para tahanan perang
diperintahkan oleh serdadu Jepang supaya menggali lubang yang bakal menjadi
liang kubur bagi mereka sendiri. Mata mereka satu persatu ditutup dengan
sehelai kain hitam, disuruh berlutut dengan kepala menghadap ke lubang. Demikian
pula mereka yang dikenakan hukuman “tembak mati”, mata mereka juga ditutup
sehelai kain hitam, disuruh berdiri di tepi lubang membelakangi lubang lahat
dengan wajah mereka menghadap regu tembak.
Pedang samurai di tangan algojo,
bayonet terhunus pada ujung laras senapan, memancung dan menikam satu demi satu
tubuh manusia yang segera tergulir ke dalam liang lahat. Terdengar
letusan-letusan senjata secara beruntun, peluru-peluru melesat keluar dari laras-laras
senapan regu tembak serdadu Jepang, dan gugurlah para tahanan perang, bagaikan
bunga-bunga mawar berwarna-warni yang menghiasi jalan raya di sudut bukit
pahlawan Perang Dunia II di lahan “Tokyo Baru”, di kaki bukit Sampuk, di
kawasan kampung Totolan, onderdistrik Kakas, Minahasa.
Sumber: Draft buku susunan alm.
Jimmy Andre Legoh (disunting kembali oleh Mantan Pilot Tempur TNI AU, Bpk
Johanes Mundung)
saya mencari keluarga saya dijaman penjajahan jepang tahun 1945 ,apakah bisa dibantu?
BalasHapus